Rabu, 16 Maret 2011

PENERAPAN ISLAM DALAM KEHIDUPAN

Secara bahasa, Islam adalah bentuk mashdar dari kata aslama, yang diantara makna bahasanya adalah inqaada (tunduk, patuh, berserah diri). Al Qur’an telah menggunakan makna bahasa ini dalam kisah para nabi  dan pemberian sifat para nabi ini sebagai muslimuun (orang-orang yang tunduk-patuh kepada Allah SWT. Allah SWT telah berfirman melalui perkataan nabi Ibrahim AS dan Ismail AS:
ربنا واجعلنا  مسلمين لك ومن ذريتنا أمة مسامة لك
Ya Tuhan Kami jadikanlah kamu berdua orang yang tunduk  patuh kepada-Mu dan (jadikanlah) anak cucu kami umat yang patuh kepada Engkau (QS Al Baqarah: 128).
            Allah SWT juga berfirman melalui perkataan Nabi Nuh AS, nabi sebelum Nabi Ibrahim AS:
إن أجري إلا على الله وأمرت أن أكون من المسلمين
Upahku tidak lain hanyalah dari Allah belaka. Dan aku diperintahkan supaya aku termasuk golongan orang-orang yang berserah diri (kepada-Nya) (QS Yunus 32).
            Di samping ayat di atas, masih ada beberapa ayat lainnya yang menunjukkan penggunaan kata muslim atau muslimun (isim fa’il dari kata asalama) dalam pengertian bahasa, yakni berarti munqaad atau munqaaduun (orang-orang yang patuh, tunduk, berserah diri).
            Hanya saja, kata Islam dalam pengertian bahasa tersebut telah dipindahkan maknanya oleh syara’, menjadi nama agama yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW. Makna ini, misalnya, terdapat dalam firman Allah SWT:
اليوم أكملت لكم دينكم وأتممت عليكم نعمتي ورضيت لكم الإسلام دينا
            "Pada hari ini, telah Ku-sempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Ku-cukupkan kepada kalian ni'mat-Ku, dan telah Ku-ridlai Islam itu menjadi agama bagi kalian." (QS. Al Maa'idah : 3).
            Ayat ini secara jelas menyatakan bahwa Islam adalah dien yang diridloi oleh Allah SWT sebagai dien seluruh manusia sejak diutusnya Nabi Muhammad SAW hingga hari kiamat. Allah SWT juga menegaskan bahwa hanya Islam diridloi:
إن الدين عند الله الإسلام
Sesungguhnya agama (yang diridloi) disisi Allah hanyalah Islam (Ali Imron 19).
            Oleh karenanya, siapa pun yang menjadikan selain  Islam  sebagai agamanya (termasuk juga sebagai ideologinya), maka tertolaklah ia. Karena agama selain agama Islam adalah agama batil yang tidak boleh dipeluk. Aga itu hanya akan mengantarkan manusia pada kesesatan dan kesengsaraan di dunia dan akhirat. Allah SWT berfirman:
ومن يبتغ غير الإسلام دينا فلن يقبل منه وهو في الأخرة من الخاسرين
Barang siapa  yang mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidak akan diterima (agama itu), dan ia di  akhirat termasuk orang yang merugi (QS Ali Imron 85).
            Ketika Rasulullah SAW ditanya oleh  Malaikat Jibril tentang Islam, beliau juga menjelaskan makna Islam dengan sebuah pengertian  yang berbeda dengan makna bahasanya,  dengan sabda beliau:
الإسلام أن تشهد أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله وتقيم الصلاة وتؤتي الزكاة وتصوم رمضان وتحج البيت إن استطعت إليه سبيلا
Islam itu engkau bersaksi bahwa sesungguhnya tidak ada ilah selain Allah dan sesungguhnya Muhammad itu utusan Allah, engkau mendirikan sholat, mengeluarkan zakat, berpuasa pada bulan Ramadlan, dan mengerjakan ibadah haji ke baitullah jika engkau mampu melakukannya (HR Muslim dari Umar ra).
            Itu semua menunjukkan bahwa Islam telah dipindahkan artinya dari makna bahasa menjadi makna syar’i (makna yang ditetapkan oleh syara’). Setelah kata Islam dipindahkan menjadi  makna syar’i, maka semua kata yang berasal dari kata Islam --seperti fi’il: aslama, yuslimu, aslim, atau isim fail: muslim-- jika tanpa diucapkan tanpa suatu qarinah (indikasi), berarti yang  diucapkan adalah makna syar’inya.

 Perintah  Ber-Islam
            Islam adalah risalah penutup yang dibawa oleh penutup para nabi dan rasul, Nabi Nuhammad SAW. Tidak ada lagi risalah yang yang menghapus Islam. Justru, sebaliknya, kedatangan Islam menghapus berlakunya semua agama-agama yang telah pernah diturunkan Allah SWT. Seluruh pengikutnya diperintahkan untuk meninggalkan agama-agama mereka --baik agama samawi atau bukan-- dan mengambil Islam sebagai agama mereka. Barangsiapa yang memenuhi tuntutan itu, berarti telah masuk Islam, sedangkan bagi mereka yang tidak mengikutinya, berarti telah kafir. Allah SWT telah berfirman:
وقل للذين أوتوا الكتاب والأميين ءأسلمتم فإن أسلموا فقد اهتدوا وإن تولوا فإنما عليك البلاغ والله بصير بالعباد
Dan katakanlah kepda orang-orang yang diberi Al kitab dan orang-orang ummi, Apakah kalian (mau) masuk Islam? Jika mereka masuk Islam, sesungguhnya mereka telah mendapatkan petunjuk. Dan barang siapa yang berpaling, maka kewajiban kamu hanyalah meenyampaikan (ayat-ayat Allah). Dan Allah Maha Melihat hamba-hambanya (QS Ali Imron 20).
            Rasulullah SAW juga bersabda:
ولذي نفس محمد بيده لايسمع بي أحد من هذه الأمة يهودي ولانصرني ثم يموت ولم يؤمن بالذي أرسلت به إلا كان من أصحاب النار
Demi Allah yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, tidaklah mendengar tentang aku seorang dari umat manusia, baik dia Yahudi atau Nasrani, lalu ia tidak mengimani risalah yang aku bawa, kecuali termasuk penghuni neraka (HR Muslim).
            Allah SWT juga berfirman:
وما أرسلناك إلا كافة للناس
Dan Kami tidak mengutus kamu melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa kebar gembira dan peringatan (QS Saba’: 28).
            Walhasil seluruh umat manusia yang diseru untuk memeluk Islam.  Apabila setelah diajukan hujjah baginya, namun tetap mengingkarinya, berarti secara pasti dapat dikategorikan kafir. Dan tidak ada balasan baginya, kecuali neraka jahannam.

Islam: Dien Sempurna
              Sebagai risalah terakhir bagi manusia, syariat Islam mencakup seluruh kehidupan manusia. Berbagai interaksi yang dilakukan manusia tak ada yang dibiarkan lepas dari syariat untuk  mengaturnya. Allah SWT berfirman:
ونزلنا عليك الكتاب تبيانا لكل شيء وهدى ورحمة وبشرى للمسلمين
Dan Kami turunkan Al Kitab (Al Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk, serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang muslim (An Nahl 89).
            Ayat tersebut secara gamblang menyatakan bahwa Al Qur’an telah menjelaskan segala sesuatu bagi manusia. Maksud segala sesuatui ini tentu saja kaitannya Islam sebagai dien yang berisi aqidah dan syariat. Dengan demikian, tidak ada satu persoalan yang pernah terjadi, sedang berlangsung, dan yang akan terjadi tidak ditemukan status hukumnya dalam pandangan Islam.
            Pada surat Al Maidah ayat 3 di atas juga disebutkan bahwa Islam telah disempurnakan oleh Allah SWT. Sehingga Islam telah menjadi dien yang kamil (sempurna). Ini artinya, jika ada suatu persoalan yang tidak dijelaskan status hukumnya oleh Islam berarti Islam bukanlah dien yang kamil lagi tetapi dien yang naqies (kurang). Dan  hal itu --tentu saja-- bertentangan dengan pernyataan ayat ini bahwa dien Islam telah disempurnakan Allah SWT.
            Mengomentari ayat tersebut, Imam Ibnu Katsier mengatakan:
            “Ini adalah kenikmatan Allah terbesar pada umat ini ketika Allah telah menyempurnakan agama mereka (Islam). Karenanya, mereka tidak lagi membutuhkan pada agama lainnya dan nabi selain nabi mereka (Muhammad SAW). Dan karena itu pula Allah SWT telah menjadikannya (Nabi Muhammad SAW) sebagai penutup para nabi dan mengutusnya  untuk manusia dan jin. Tidak ada yang halal kecuali yang telah dihalalkannya dan tidak ada yang haram kecuali telah diharamkannya. Tidak ada dien kecuali yang telah disyariatkannya. Segala sesuatu yang dikhabarkannya adalah benar dan jujur, serta tidak ada kedustaaan di dalamnya” (Tafsir Al Qur’anul Adziim II: 18).
            Keseluruhan Islam dalam mengatur semua aspek kehidupan kehidupan manusia ini membentuk sebuah sistem. Sebuah sistem yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, manusia dengan dirinya sendiri, dan manusia dengan sesamnya.
            Hubungan manusia dengan Dzat yang menciptakannya, yaitu Allah SWT, diatur dengan ketentuan-ketentuan aqidah dan hukum-hukum ibadah. Sedangkan hubungan manusia dengan dirinya sendiri, diatur dengan hukum tentang seputar makanan dan minuman, hukum-hukum pakaian, dan hukum-hukum akhlak.
            Sistem Islam  ini juga mengatur hubungan manusia dengan sesamanya di berbagai pergaulan hidup. Hukum muamalah merupakan hukum yang mengatur berbagai ketentuan yang menyangkut hubungan antara manusia, baik masalah pemerintahan, ekonomi, pendidikan, hubungan antara pria dan wanita,  dan politik luar negeri. Dalam aspek ini, Syariat Islam telah menjelaskan hukum seputar perdagangan, hibah, syirkah, ijarah, harta kharaj, fa’iy, ghanimah, dan berbagai masalah yang berkaitan dengan pengaturan masalah ekonomi. Di samping Islam menjelaskan masalah  pernikahan dan rumah tangga berbagai ketentuan pergaulan antara pria dan wanita, Islam juga  menjelaskan persoalan jihad dan tata cara mengemban dakwah sebagai dasar pokok politik luar negeri. Tidak hanya itu, sistem Islam  --kaitannya dengan hubungan manusia dengan sesamanya-- juga memberikan hukum-hukum pidana dengan merinci berbagai bentuk sanksi-sanksi hukum yang dikenakan kepada setiap orang yang melakukan pelanggaran terhadap syariat.
            Walhasil, syariat Islam tidak  tidak pernah melalaikan satupun perbuatan manusia. Tak ada satu pun persoalan kehidupan dibiarkan begitu saja, tanpa Islam memberikan ketentuan hukumnya. Ketentuan hukum itu didapatkan dari dalil Al Qur’an dam As Sunnah, baik berupa nash atau pun amaarah (tanda) sehingga hukum dapat diterapkan pada setiap objek hukum yang mengandung tanda tersebut.

Islam Wajib diterapkan Secara Menyeluruh
            Semua hukum tersebut wajib diterapkan. Tak ada yang lebih diistimewakan daripada lainnya. Karena semuanya berasal dari Allah SWT untuk manusia. Semua ayat dan hadist Nabi SAW yang memerintahkan kita untuk menerapkan Islam datang dalam bentuk umum. Menolak salah satu hukum Allah akan membawa status pembangkangan atau kekufuran sebagai mana yang disebutkan dalam Al Qur’an surat An Nisa’ 150-151:
إن الذين يكفرون بالله ورسله ويريدون أن يفرقون بين الله ورسله ويقولون نؤمن ببعض ونكفر ببعض ويريدون أن يتخذوا بين ذلك سبيلا . أولئك هم الكافرون حقا وأعتدنا للكافرين عذابا مهينا
Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan bermaksud memperbedaakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan: Kami beriman kepada  yang sebagian dan kami kafir sebagian terhadap sebahagian (yang lain)”, serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir). Merekalah orang-orang kafir yang sebenar-benarnya. Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir itu siksaan yang menghinakan (An Nisa’ 150-151).
            Sebagaimana tidak boleh mengurangi hukum-hukum yang telah ditentukannya, tidak boleh pula menambah-nambahinya dengan hukum-hukum yang tidak bersumber dari Islam. Rasulullah SAW bersabda:
من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد
Barang siapa yang membuat-buat dalam urusan (agama) kami ini amalan yang bukan bagian darinya, ia tertolak (HR Bukhori dan Muslim).
            Sejak diturunkannya Islam ke dunia, seluruh manusia wajib mengikatkan dirinya dengan syariat Islam, menerapkan, dan memberlakukan hukum-hukumnya. Kewajiban ini tercantum dalam nash-nash syara’, baik dalam Al Qur’an maupun Sunnah Rasulullah SAW.
            Dalam pandangan Islam, satu-satunya yang berhak membuat hukum adalah Allah SWT. Sedangkan manusia manusia diperintahkan mengabdi kepada-Nya dengan mentaati seluruh hukum-hukum-Nya. Allah SWT berfirman:
إن الحكم إلا لله أمر ألا تعبدوا إلا إياه ذلك الدين القيم  ولكن أكثر الناس لايعلمون
Menetapkan hukum hanya hak Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui (QS Yusuf: 40).
            Allah SWT memerintahkan kaum muslimin untuk berpegang teguh dengan apa yang telah diputuskan Allah dan Rasul-Nya. Tidak patut bagi mereka memiliki pilihan keputusan, peraturan, dan hukum lain, setelah ada ketetapan dari Allah dan Rasul-Nya. Allah SWT berfirman:
وماكان لمؤمن ولامؤمنة إذا قضر الله ورسوله أمرا أن يكون لهم الخيرة من أمرهم
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) wanita yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka (QS Al Ahzab: 36).
            Allah SWT telah memerintahkan kepada Rasul-Nya yang mulia --yang berati juga perintah kepada umatnya-- untuk memberikan keputusan berdasarkan hukum yang telah diturunkan Allah, dan waspada supaya tidak dipalingkan manusia dari sebagian yang diturunkan Allah, serta tidak menyimpang sedikit pun dari hukum Allh SWT. Allah SWT berfirman:
وأن احكم بينهم بما أنزل الله ولاتتبع أهواءهم واحذرهم أن يفتنوك عن بعض بما أنزل الله إليك
“Dan handaklah kamu memutuskan hukum di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah dengan tipu daya mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang diturunkan Allah SWT kepadamu” (QS Al Maidah: 49).
            Diperintahkan pula bagi setiap kaum muslimin mengembalikan setiap perkara yang mereka perselisihkan kepada hukum yang telah ditetapkan Allah SWT melalui Rasul-Nya, berupa Al Qur’an dan As Sunnah. Allah SWT berfirman:
فإن تنازعتم في شيء فردوه إلى الله والرسول إن كنتم تؤمنون بالله واليوم الأخر ذلك خير وأحسن تأويلا
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (As Sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya (An Nisa’: 59).
            Kata “jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian  merupakan qarinah (indikasi) yang menunjukkan wajibnya mengembalikan setiap perkara yang diperselisihkan (yang menyangkut persoalan aqidah dan syariat) kepada Al Qur’an dan As Sunnah. Qarinah ini dipertegas oleh ayat lainnya yang menafikan keimanan siapa saja yang tidak mau menjadikan syariat sebagai rujukan dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang mereka hadapi. Allah SWT berfirman:
  فلا وربك لا يؤمنون حتى يحكموك فيما شجر بينهم ثم لا يجدوا في أنفسهم حرجا مما قضيت ويسلموا تسليما
            “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu sebagai hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan , dan mereka menerima dengan sepenuhnya” ( An Nisa 65)
            Ayat ini menafikan (meniadakan) iman seseorang yang tidak menjadikan Rasulullah SAW sebagai hakim yang memutuskan perkara di antara mereka. Menjadikan Rasulullah SAW sebagai hakim berarti menjadikan hukum syara’ sebagai acuan, standar, dan parameter untuk menilai baikb  buruknya segala sesuatu. Sebab bertahkim kepada Rasulullah SAW berarti juga bertahkim kepada hukum syara’. Pengertian tersebut bisa disimpulkan demikian karena Rasulullah SAW tidak memutuskan hukum apapun berdasarkan undang-undang yang berlaku menurut adat dan kebiasaan masyarakat, ataupun mitos nenek moyang mereka. Akan tetapi Rasulullah SAW diperintahkan untuk mengadili dan memutuskan mereka dengan hukum syara’ semata yang berasal dari Allah SWT.
            Yang dituntut oleh ayat di atas bukan hanya menjadikan Rasul SAW (hukum syara’) sebagai hakim untuk memutuskan perkara-perkara kehidupan, tetapi juga harus menerima keputusan tersebut dengan rela dan tunduk, serta tidak boleh ada sedikit pun ada keberatan dalam dirinya.
            Menerapkan hukum Allah SWT adalah bukti keimanan kepada Allah SWT, yang memiliki sifat-sifat kesempurnaan. Sehingga, pengakuan keimanan yang tidak disertai dengan sikap ini (bertahkim hanya kepada hukum Allah SWT), maka keimanan itu bukanlah keimanan yang sebenarnya. Sebab bagaimana mungkin ada orang yang meyakini Al Qu’an tetapi ketika memutuskan perkara tidak menggunakan Al Qur’an tetapi justru menggunakan hukum selainnya? Mengenai orang yang seperti ini,  Allah SWT berfirman:
ألم تر إلى الذين يزعمون أنهم أمنوا  بما أنزل إليك و ما أنزل من قبلك يريدون أن يتحاكموا إلى الطاغوت وقد أمروا أن يكفروا به و يريد الشيطان أن يضلهم ضلالا بعيدا
Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya beriman kepada apa yang telah diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut padahal mereka telah diperintahkan mengingkari thaghut itu. Dan syaithan bermaksud menyesatkan merea dengan penyesatan sejauh-jauhnya” (An Nisa: 60).
            Pengakuan bahwa mereka telah beriman kepada Al Qur’an, mengharuskan mereka untuk bertahkim kepada hukum Al Qur’an itu.  Apabila ia justru menginginkan untuk bertahkim kepada hukum yang tidak bersumber dari Al Qur’an (hukum thaghut), padahal ia diperintahkan untuk mengkufurinya, maka jelas itu bertentangan dengan pengakuan orang tersebut bahwa ia telah beriman. Oleh karena itu, iman seseorang kepada Islam mewajibkan ia bertahkim kepadanya. Dengan demikian, seorang muslim harus terikat dengan hukum-hukum Islam. Apabila ia tidak terikat, berarti ia telah menempuh jalan kekufuran. Bahkan pada hakikatnya ia tidak beriman kepada ajaran Islam.
            Syara’  juga telah menegaskan hal ini secara jelas dan terang-terangan terhadap para penguasa  dan qadli /hakim. Merekalah pihak yang termasuk ke dalam jajaran para pelaksana hukum syara’. Mereka dilarang menjalankan hukum thaghut (selain hukum Allah SWT). Jika mereka tetap menjalankan hukum thaghut, maka mereka termasuk orang-orang kafir, dzalim, dan fasik. Mereka dianggap kafir secara pasti apabila meyakini bahwa hukum Islam tidak relevan lagi untuk memecahkan problematika manusia di abad sekarang, justru meyakini bahwa selain Islam, semisal sosialisme atau kapitalisme,  lebih handal dan mampu memecahkan problematika hidup. Allah SWT berfirman:
ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الكافرون
Barang siapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa yang diturnkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir” (Al Maidah: 44).
            Jika mereka masih meyakini bahwa hukum Islam itu mampu memecahkan segala problema kehidupan, tetapi ia taat pada hukum-hukum selain Islam karena alasan takut terhadap penguasa atau tekanan negara-negara besar atau ada keyakinan bahwa mereka tidak mampu menerapkan hukum Islam, maka mereka termasuk orang-orang yang dzalim dan fasik, sebagaimana yang disebutkan dalam Al Qur’an surat Al Maidah 45 dan 47. Sebab, ia telah mengerjakan sesuatu yang diharamkan.
ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الظالمون
Barang siapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa yang diturnkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang    yang dzalim (Al Maidah 45).
ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الفاسقون
Barang siapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa yang diturnkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang fasik ” (Al Maidah: 47).
            Hukum Allah SWT  yang wajib ditegakkan tersebut haruslah bersifat totalitas. Tidak boleh hanya bersifat parsial. Sebab, perintah untuk menerapkan hukum itu bersifat umum.

Kebutuhan Terhadap Keberadaan Negara
            Sedangkan berkaitan dengan pelaksana hukum tersebut, syara memberikan ketentuan bahwa ada hukum-hukum syara’ yang pelaksanaannya dibebankan kepada individu. Hukum ini berkaitan dengan  aspek individu, semacam aqidah, ibadah, makanan, pakaian, dan akhlak. Juga beberapa hukum muamalah seperti seputar perdagangan, ijarah, pernikahan, dsb. Karena dilakasanakan oleh individu, maka di mana pun ia berada, wajib terikat dengan syariat tersebut, baik di dalam daulah Islam atau bukan.
            Ada pula hukum-hukum syara’  yang bebannya dilaksanakan oleh negara (dalam hal ini, khalifah dan setiap pihak yang ditugasi olehnya). Hukum itu berkaitan dengan aturan hubungan antara sesama manusia, semisal tentang sistem pemerintahan, ekonomi, sosial, pendidikan dan politik luar negeri. Juga berkaitan dengan hukum-hukum yang berkaitan dengan sanksi yang diberikan pada setiap bentuk pelanggaran hukum syara’. Hukum-hukum seperti tidak boleh dilakukan oleh individu per individu. Sehingga tidak setiap orang, misalnya, boleh memotong tangan seorang pencuri, atau mencambuk seorang pezina. Demikian pula yang memberikan komando kaum muslimin untuk melancarkan jihad futuhat atau membuat perjanjian dengan negara lain, membagi harta ghanimah atau fa’iy, memaksa setiap individu muslim membayar zakat, mengatur distribusi kekayaan di baitu mal, menyelenggarakan pendidikan yang membentuk menjadi pribadi Islamiy, mencegah berbagai kemungkaran yang terjadi dengan hukuman pidana, dsb. Semua hukum harus dilakukan oleh khalifah dan yang diberi wewenang olehnya.
            Dengan demikian, keberadaan negara merupakan sesuatu yang bersifat dlaruri (sangat penting) dalam melaksanakan Islam. Tanpa ada sebuah negara, mustahil bisa memberlakukan syariat Islam secara menyeluruh. Banyak sekali hukum syara’ yang terbengkalai. Pada hal, kita diwajibkan untuk menerapkan syariat Islam secara totalitas.

Beberapa Ketentuan tentang Negara
            Berkaitan dengan kewajiban tentang adanya negara yang menerapkan hukum-hukum Islam secara totalitas ini, syara’ juga telah menggariskan sebuah sistem pemerintahan tertentu yang harus dibentuk kaum muslimin. Beberapa hal yang diatur oleh syariat Islam adalah tentang asas negara, bentuk negara, bentuk pemerintahan, pemilik kedaulatan, mekanisme kekuasaan, struktur pemerintahan, dan sebagainya.i
            Tetntang asas negara, misalnya, Islam telah mewajibkan kaum muslimin untu menjadikan aqidah Islamiyyah sebagai asas bagi kehidupan bernegara, di samping sebagai asas bagi kehidupan individu. Sehingga, semua peraturan dan perundangan yang diberlakukan oleh negara itu bersumber dari Islam. Simpulan ini lebih diperkuat dengan tiga argumentasi yang membuktikan hal itu.
            Pertama, pada saat Rasulullah SAW mendirikan daulah Islamiyyah di Madinah, sejak awal beliau mendirikannya atas dasar aqidah Islamiyyah. Hal ini terbukti dari fakta pada saat itu, di mana ayat-ayat yang berhubungan dengan masalah hukum belumlah turun, tetapi Rasulullah telah menjadikan sebagai asas bagi pengaturan dan penataan kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
            Kedua, Rasulullah SAW  telah menetapkan kewajiban jihad atas kaum musliminuntuk menyebarkan aqidah Islamiyyah. Beliau bersabda:
أمرت أن أقاتل الناس حتى يشهدوا أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله ويقيموا الصلاة ويؤتوا الزكاة فإن فعلوا ذلك عصموا مني دماءهم وأموالهم إلا بحق الإسلام وحسابهم على الله
“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa tidak ada ilah selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan sholat, dan menunaikan zakat. Apabila mereka melakukannya,  terjagalah harta dan darah mereka dariku kecuali dengan cara yang dibenarkan Islam dan hisabnya atas hal itu dan perhitungan mereka terserah kepada Allah SWT ” (HR Muslim).
            Ketiga, Rasulullah SAW telah memerintahkan kaum muslimin untuk mempertahankan posisi aqidah Islamiyyah sebagai landasan kehidupan bernegara dengan cara memerangi penguasanya, apabila para penguasa itu menampakkan kekufurannya secara terang-terangan (kufran bawahan). Diriwayatkan dari Ubadah bin Ash Shamit ra. yang berkata tentang baiat kaum muslimin kepada Rasulullah SAW:
و أن لا ننزع الأمر أهله إلا أن تروا كفرا بواحا
“Dan hendaklah kita tidak merampas kekuasaan dari yang berhak kecuali (sabda Rasulullah) kalian melihat kekufuiran yang nyata yang kalian memiliki bukti (tentang kekufuran itu) dari sisi Allah” (HR Bukhari dan Muslim).
            Juga hadits dari Auf bin Malik bahwa Rasulullah SAW bersabda:
خيار أئمتكم الذين تحبونهم و يحبونهم و يصلون عليكم و يصلون عليهم و شرار أئمتكم الذين تبغضون عليهم و يبغضون عليكم و تلعنون عليهم و يلعنون عليكم قيل يا رسول الله أفلا ننابذهم بالسيف فقال لا ما أقاموا الصلاة
            Sebaik-baiknya pemimpin kalian adalah kalian mencintai mereka dan mereka pun mencintai kalian, kalian mendoakan mereka dan mereka pun mendoakan kalian. Seburuk-buruknya pemimpin kalian adalah kalian membeci mereka dan mereka pun membenci kalian, mereka melaknat kalian kalian pun melaknat mereka. Ditanyakan kepada Rasulullah SAW,” Tidakkah kita perangi saja dengan pedang?’ Rasulullah SAW menjawab,”Tidak, selama mereka masih menegakkan sholat (HR Muslim).
            Arti menegakkan sholat adalah menegakkan hukum-hukum Islam secara keseluruhan. Ungkapan ini termasuk ithlaaqul juz’i wa iraadatul kulli (menyebutkan sebagian sedangkan yang dimaksud adalah keseleruhan).
            Dari tiga argumen itu dapat disimpulkan bahwa aqidah Islamiyyah adalah asas daulah sekaligus sumber konstitusi dan undang-undang. Sebab, Rasulullah SAW telah membangun kekuasaan (negara) berdasarkan asas aqidah Islam. Bahkan beliau memerintahkan untuk mengangkat senjata dalam rangka menjaga keberlangsungan aqidah sebagai asaskekuasaan, serta memerintahkan berjihad dengan tujuan menegakkan aqidah tersebut.
            Karena itu, daulah Islam tidak diperbolehkan memiliki satu pun pemikiran, konsep, hukum atau standar yang tidak digali dari aqidah Islam. Sebab, tidak cukup dengan menjadikan asas daulah Islam sebatas nama, yaitu namanya aqidah Islam, namun dalam praktiknya tidak. Bahkan keberadaan asas tersebut harus tercermin dan tampak dalam segala aspek yang berhubungan dengan eksistensi daulah.Termasuk dalam hal-hal yang kecil atau nampak menonjol dalam urusan negara secra keseluruhan. Karena itu, daulah Islam tidak diperbolehkan memiliki satu pun konsep tentang kehidupan selain lahir dari aqidah Islam. Aqidah Islam pun tidak mentoleransi konsep apa pun yang tidak bersumber dari aqidah Islam.
            Semua itu bahwa menegakkan daulah Islamiyyah itu merupakan kewajiban yang tidak bisa ditawar-tawar. Yakni sebuah daulah yang menerapkan syariat Islam secara totalitas, tanpa terkecuali. Apabila kewajiban ini diabaikan, kesengsaraan dunia dan akhirat menjadi sebuah yang niscaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar