Sabtu, 02 April 2011

SISTEM EKONOMI ISLAM


1                   PENGANTAR

Makalah berikut merupakan uraian lanjutan tentang konsepsi Islam dalam memecahkan sebagian problematika kemanusiaan, tepatnya dalam bidang ekonomi, lebih khusus lagi yang berkait dengan implementasi syariat dalam bidang industri konstruksi. Sebagaimana diketahui bahwa Islam adalah suatu mabda’ (ideologi yang memiliki sistem aqidah dan syariah), disamping mabda Kapitalisme dan Sosialisme, yang sifatnya universal mencakup seluruh aspek kehidupan. Secara fakta, sebenarnya sistem ekonomi Islam telah terterapkan selama lebih dari 13 Abad, sejak kehidupan bernegara dibawah kepemimpinan Muhammad SAW kemudian diteruskan oleh para khulafa setelahnya hingga awal Abad ini[i]. Pada masa-masa itulah ajaran-ajaran Islam tampil ke permukaan, mendominasi segala pemikiran, perasaan dan aturan-aturan yang ada, baik dalam aspek ketatanegaraan, sosial, hukum dan persanksian, termasuk dalam aspek perekonomian.

Untuk saat ini, eksistensi aturan Islam memang dalam kondisi yang lemah dan payah, bahkan sesungguhnya tidak ada satu wilayah pun yang menerapkan hukum dan peraturan Islam, termasuk di dalamnya perekonomian, secara sempurna dan utuh. Yang terjadi justru dominasi mabda’ Kapitalisme yang menyentuh (hampir) secara mondial --hatta pada wilayah-wilayah yang mayoritas penduduknya muslim-- walaupun menurut prediksi Fernand Brendel: “sesungguhnya Kapitalisme akan runtuh!”. Sebab keruntuhan Kapitalisme, menurut Brendel, jika ada pukulan yang teramat keras dari luar dan ada alternatif terpercaya yang siap menggantinya[ii]. Tetapi mungkin ada yang menggelitik, mengapa Kapitalisme, secara fakta, belum mengalami keruntuhan?
Menurut Dawam Raharjo, dalam pengantar “Kapitalisme Dulu dan Sekarang”, salah satu sebab belum runtuhnya Kapitalisme adalah tumbuhnya gagasan dan usaha menciptakan sistem negara kesejahteraan (welfare state), yang mulai gencar dilancarkan sejak akhir abad XIX ketika Kapitalisme Industri sedang memuncak. Hobson misalnya, mengkritik sistem industri yang dinilainya telah menciptakan monopoli yang merupakan sumber kepincangan pendapatan dan depresi. Kemudian, para budayawan dan pemikir seperti Bernard Shaw, Anni Besant, HC. Wels, Beatric Webb, disamping mengkritik situasi masyarakat industri, secara tegas mengusulkan adanya peran negara sebagai kontrol sosial dan promotor kesejahteraan umum.[iii]
Menurut gagasan ini, negara --yang diwakili oleh pemerintah-- mempunyai kewajiban untuk melindungi warga negaranya dari kemiskinan. Kewajiban ini tidak begitu saja diserahkan kepada individu, perusahaan-perusahaan swasta, atau kelom-pok-kelompok masyarakat[iv]. Liberalisme ekonomi, yang kala itu menjadi dewa idaman ternyata telah menciptakan kesenjangan sosial yang parah. Wajar memang. Kebebasan bersaing, mau tidak mau pasti menciptakan satu kelompok masyarakat yang menang dalam persaingan, karena beberapa faktor, yang menguasai hampir semua sumber kehidupan. Di sisi lain, tercipta beberapa kelompok yang kalah atau terkalahkan dalam persaingan, mereka terhimpit oleh keniscayaan ekonomi, sehingga harus berbuat apa saja demi memenuhi kebutuhan perutnya, jika perlu pengorbanan diri dan keyakinan.
Mereka para pendukung konsep Negara Kesejahteraan mendorong pemerintah agar turut campur tangan dalam mengatasi masalah-masalah tersebut. Liberalisme murni atau persaingan bebas sudah saatnya ditinggalkan, dan memang dari dulu hal itu mustahil terjadi. Negara, yang nota bene merupakan institusi penjamin kebebasan individu masyarakat dalam pandangan masyarakat kapitalis, mau tak mau harus turut campur tangan.[v] Pada titik ini ada sebuah persoalan mendasar. Dalam hal apa negara boleh mencampuri urusan rakyatnya?
Pada akhirnya akan terlihat dan sejarah pun akan mencatat, sejauh mana Kapitalisme akan bertahan hidup, untuk kemudian menyusul nasib “saudara kandungnya”, Sosialisme, yang telah lebih dulu mangkat secara tragis di bawah telapak kaki rakyatnya yang tak lain adalah pendukungnya sendiri.
Sebenarnya, jauh-jauh hari sebelum kelahiran konsep welfare state, Islam telah menawarkan dan merealisasikan konsep khasnya, yakni dalam hal pemeliharaan dan pengaturan urusan rakyat, cara pemenuhan kebutuhan pokok bagi warga masyarakat, cara penanganan kemiskinan, perwujudan kesejahteraan hidup, dan persoalan-persoal-an ekonomi lainnya. Namun titik tolak Islam bukan dari keprihatinan sosial yang bersifat nisbi dan kondisional, atau berpijak di atas dasar nilai-nilai sosial dan kemanusiaan semata. Islam, dalam segala macam cara pemecahan problematika kehidupan manusia, justru bertitik tolak dari pandangan dasar tentang manusia dan kehidupan ini, bahwa keberadaan manusia dan kehidupan, sebab kemunculannya dan tujuan akhirnya adalah semata karena dan untuk sang Pencipta/Khaliq saja. Sehingga dalam pandangan Islam, manusia tidak liar dan bebas nilai, melainkan memiliki keterikatan dengan hukum dan tata aturan kehidupan yang diturunkan dari Sang Pencipta, Allah swt.
Oleh karena itu, dapat dipastikan bila sistem aturan Islam bersifat langgeng dan permanen, sebab dibangun atas dasar keyakinan kepada Sumber Hukum, yakni Allah swt. Dan apabila dikaji secara mendalam dan menyeluruh bagaimana wajah dari sistem ekonomi Islam, insya Allah akan didapati khazanah-khazanah keutamaan sistem Islam, yang belum dan secara niscaya tak kan tertandingi keunggulannya sampai kiamat tiba. Wallahu ‘alamu bish-shawab.

2                   EKONOMI

Kata ekonomi diambil dari bahasa Yunani kuno (greek), yang maknanya adalah “mengatur urusan rumah tangga”, dimana anggota keluarga yang mampu, ikut terlibat dalam menghasilkan barang-barang berharga dan membantu memberikan jasa, lalu seluruh anggota keluarga yang ada, ikut menikmati apa yang mereka peroleh. Kemudian populasinya semakin banyak dalam rumah-rumah, lalu menjadi suatu kelompok (community) yang diperintah oleh satu negara.[vi]
Karena itu yang dimaksud dengan kata “ekonomi” di sini bukanlah makna bahasa, yang berarti hemat. Juga bukan berarti kekayaan. Akan tetapi yang dimaksud di sini semata-mata adalah makna istilah untuk suatu sebutan tertentu, yaitu “kegiatan mengatur urusan harta kekayaan”--baik yang menyangkut kegiatan memperbanyak jumlah kekayaan serta menjaga pengadaannya, yang kemudian dibahas dalam ilmu ekonomi, maupun yang berhubungan dengan tata cara (mekanisme) pendistribu-siannya, yang kemudian dibahas dalam sistem ekonomi.[vii]
Sistem ekonomi berbeda dengan ilmu ekonomi. Jika ilmu ekonomi bersifat universal, tidak terikat dengan pandangan hidup dan ideologi tertentu, maka sistem ekonomi kebalikannya. Ilmu ekonomi, menurut Hafidz Abdurrahman dalam “Islam, Politik dan Spiritual”[viii], adalah ilmu yang membahas tentang produksi dan peningkatan kualitas produk, atau menciptakan sarana produksi dan peningkatan kualitasnya”. Sedangkan sistem ekonomi adalah hukum atau pandangan yang membahas tentang pendistribusian kekayaan, cara pemilikan serta bagaimana mengelolanya”.
Pembahasan ilmu ekonomi, menurut Syeikh Taqiyuddin An-Nabhaniy, berkaitan dengan faktor produksi, sedangkan sistem ekonomi, pembahasannya berkait dengan pemikiran (konsep) tertentu. Oleh karena itu, pembahasan tentang sistem ekonomi harus dibahas sebagai sebuah pemikiran yang mempengaruhi dan terpengaruh oleh pandangan hidup (way of life) tertentu. Lalu membahas ilmu ekonomi sebagai sebuah sains murni, yang tidak ada hubungannya dengan pandangan hidup (way of life) tertentu. Dan di antara kedua pembahasan tersebut yang paling penting, masih menurut Syeikh Taqiyuddin, adalah pembahasan tentang sistem ekonomi.[ix] Karena itu, sistem ekonomi Islam jelas akan berbeda dengan sistem ekonomi Kapitalisme maupun sistem ekonomi Sosialisme.
Disamping itu, sesungguhnya, problem ekonomi dalam pandangan Islam berbeda dengan Kapitalisme maupun Sosialisme. Islam memandang bahwa problem ekonomi terletak pada pembagian (distribusi) kekayaan dan penggunannya bagi rakyat. Sehingga dalam pemecahannya bukan dengan cara menaikkan pendapatan perkapita (hanya melihat standar GNP), atau dengan cara meningkatkan produksi (sekedar melihat economic growth) --sebagaimana yang menjadi konsepsi Kapitalisme.[x]

2.1             POLITIK EKONOMI ISLAM

Politik ekonomi adalah “tujuan yang ingin dicapai oleh hukum-hukum yang dipergunakan untuk memecahkan mekanisme mengatur urusan manusia”. Sedangkan politik ekonomi Islam merupakan jaminan bagi tercapainya pemenuhan seluruh kebutuhan pokok/primer (basic needs) tiap orang secara menyeluruh, berikut kemungkinan tiap orang untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sekunder dan tersiernya sesuai denan kadar kesanggupannya, sebagai individu yang hidup yang hidup dalam sebuah masyarakat yang memiliki gaya hidup (life style) tertentu”.[xi]
Islam secara khusus membebankan pelaksanaan dan kesempurnaan fungsi di atas pada kepala negara, sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw.:
“Seorang Imam (Kepala Negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan (rakyat), dan ia akan diminta pertanggungjawaban terhadap rakyatnya”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari sehingga hadits tersebut nyata bahwa syariat Islam menjamin pemenuhan kebutuhan pokok, seperti sandang, pangan, dan papan bagi setiap individu secara merata (adil/proporsional), melalui kewenangan yang dilimpahkan Islam, secara khusus, kepada kepala negara.
Disamping peranan negara, hal tersebut bisa terwujud kalau ada usaha/kerja dari setiap individu (lelaki) yang mampu guna memenuhi kebutuhan pokoknya dan orang-orang yang dibawah tanggungannya, sebagai misal seorang lelaki wajib menafkahi istri dan anak-anaknya (keluarga), juga wajib menanggung penghidupan waris (kerabat)-nya yang tidak mampu, seperti ayahnya yang telah lanjut usia. Terlebih hal ini merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan, karena syara’ memerintahkan yang demikian. Tetapi, jika tidak ada seorang wali, atau ada, tetapi dalam kondisi tidak mampu memberikan nafkah, maka kewajiban itu dipikul oleh negara melalui Baitul Maal (kas negara). Dengan demikian, menurut pandangan Islam, negaralah yang secara signifikan berkewajiban dalam terjaminnya kebutuhan primer (maupun sekunder) secara layak bagi setiap individu rakyat, sebagaimana bunyi hadits Rasulullah saw  di atas:
“Seorang Imam (Kepala Negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan (rakyat), dan ia akan diminta pertanggungjawaban terhadap rakyatnya”. (HR. Bukhari dan Muslim)

2.2             ASAS SISTEM EKONOMI ISLAM

Islam, menurut Hafidz Abdurrahman dalam bukunya “Islam: Politik dan Spiritual”, telah menetapkan asas sistem ekonominya berdasarkan tiga asas, yaitu: (1) pemilikan (al-milkiyah), (2) pengelolaan dan pemanfaatan hak milik (tasharruf al-milkiyah), dan (3) pendistribusian kekayaan di tengah masyarakat (tauzi’ al-amwal baina an-nas).

2.3             Asas Pertama: Pemilikan (al-milkiyah), yaitu tatacara yang digunakan oleh seseorang untuk memperoleh manfaat yang dihasilkan oleh perkhidmatan ataupun benda tertentu. Sedangkan pengertian pemilikan menurut syara’ adalah izin Pembuat  syari’at untuk memanfaatkan zat. Yang dimaksud dengan “izin” adalah hukum syara’. Sedang “Pembuat syari’at” maksudnya adalah Allah. Adapun maksud dari “zat” adalah benda yang dapat dimanfaatkan.[xii]

Kekayaan pada dasarnya adalah milik Allah swt. Dialah yang memberikan kekuasaan pada manusia untuk mengelolanya. Dengan kekuasaan ini, manusia berhak memiliki harta. Tetapi pemilikan harta tersebut tidak lain adalah atas dasar izin Allah swt bagi individu untuk memiliki harta tersebut. Allah swt berfirman dalam surat An-Nur:
“(Dan) berikanlah kepada mereka sebagian harta yang Allah telah karuniakan kepadamu.” (QS. An-Nur: 33)
Dan dalam surat Al-Hadiid Allah swt berfirman pula:
“(Dan) nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya.” (QS. Al-Hadiid: 7)
Berdasar nash di atas, dapat dipahami bahwa Allah menjadikan manusia peng-uasa terhadap harta-Nya, yang tak lain hakikatnya merupakan kepunyaan Allah swt.
Adapun jenis pemilikan, menurut syara’, ada tiga macam: (1) Pemilikan Individu (milkiyah fardhiyah), (2) Pemilikan Umum (milkiyah aam), dan (3) Pemilikan Negara (milkiyah daulah)
a)     Pemilikan Individu
Pemilikan individu merupakan izin dari Asy-syaari’ (Allah swt) kepada manusia dalam hal penggunaannya, baik yang dipakai langsung habis, dimanfaatkan atau ditukarkan. Islam telah menjadikan pemilikan individu sebagai hak baginya yang ditentukan oleh syara’. Seseorang boleh memiliki harta ”bergerak”, semisal ternak, uang, mobil, pakaian atau yang “tidak bergerak”, semisal tanah, rumah, pabrik.
Syara’ telah memberikan kekuasaan kepada individu atas apa yang telah dimilikinya untuk mengaturnya sendiri. Namun demikian, syara’ juga telah mene-tapkan dan membatasi sebab-sebab pemilikan harta yang boleh dimiliki oleh manusia sekaligus pengembangannya. Disamping itu syara’ menetapkan pula tata cara pengaturan harta.
a.      Sebab-sebab pemilikan harta
Allah swt, sebagai pencipta hukum (asy-syaari’), telah menentukan beberapa sebab mengapa seseorang boleh memiliki harta dan mengembangkannya. Salah satu sebab pemilikan tersebut adalah dengan bekerja, baik itu bekerja sendiri (wiraswasta) maupun bekerja untuk orang lain. Bentuk-bentuk pekerjaan tersebut, meliputi mem-buka lahan (menghidupkan tanah yang mati), berburu, mengeksploitasi bumi, menjadi perantara (broker), mengelola modal dengan sistem mudlarabah, musaqat, dan sebagainya.
Syara’ juga menjadikan di antara sebab-sebab kepermilikan yang lain, misal-nya melalui waris, atau usaha untuk mendapatkan harta karena ingin mempertahankan hidup (misalnya mencuri karena kelaparan yang sangat); pemberian negara melalui Baitul Maal kepada rakyat; atau harta yang didapat tanpa harus bekerja terlebih dahulu, seperti harta hibab, hadiah, wasiat, pemberian honorarium, denda (diyat), mahar, maupun hasil temuan.
Begitu pula asy-syari’ (Allah swt) telah menjadikan beberapa usaha (mata pencaharian) seperti pertanian, perdagangan, industri, sebagai salah satu cara pemili-kan yang sah untuk aktivitas pengembangan dan cara mendapatkan harta.
b.      Cara pemilikan individu yang terlarang
Syara’ telah menentukan cara pengembangan harta, disamping menentukan cara-cara yang terlarang (tidak sah) untuk dijadikan sumber mata pencaharian dan pengembangan harta. Syara’ melarang mencari dan mengembangkan harta dengan beberapa cara, antara lain:
1.1.1       Perseroan terbatas menurut sistem kapitalis
Sesungguhnya syarikat saham (Perseroan Terbatas) adalah suatu syirkah yang tidak diakui/disahkan oleh Islam. Islam telah mengharamkan adanya syarikat saham. Karena tidak memenuhi syarat-syarat berdirinya syirkah menurut ketentuan nash-nash syara’ (seperti Rukun Akad atau Ijab Kabul), maka syirkah dengan cara tersebut haram dijalankan. Syirkah semacam ini terbentuk hanya dari kehendak satu pihak, yaitu pihak pemegang saham. Yang lazim terjadi dalam pembentukan syirkah sema-cam ini adalah bahwa seseorang hanya dengan menandatangani syarat-syarat syarikat (menurut cara PT) maka sahlah dia menjadi rekanan. Juga hanya dengan pembelian saham, maka siapapun bisa menjadi rekanan dalam usaha tersebut.
Menurut sistem kapitalisme, syirkah semacam ini lebih banyak ditentukan oleh satu pihak. Dalam syarikat saham tidak terdapat dua pihak yang melakukan akad, melainkan yang ada hanyalah satu pihak pengatur (pengelola). Dalam prosesnya tidak ada ijab kabul, tetapi yang ada hanyalah ijab yang terjadi di antara pemegang saham, sehingga tidak ada pihak syarikul badn/rekanan yang mengelola modal saat syirkah itu dibentuk. Atau dalam pemahaman lain, yang ada hanyalah modal (syarikul maal) saja, yakni dalam bentuk digital/angka.
Secara syar’i, sebuah syarikat wajib berdiri atas persepakatan ijab kabul dari dua pihak, seperti yang terjadi dalam proses jual beli, sewa menyewa dan berbagai transaksi sejenisnya. Dalam akad syirkah diperbolehkan adanya dua pihak yang berperan sebagai pengelola usaha atau yang satu sebagai pengelola dan yang lain sebagai pengelola modal tersebut. Oleh karena itu syarikat saham (PT) tidak sah, karena tidak memenuhi salah satu rukun dari rukun-rukun akad. Berdasar hal-hal tersebut, maka saham termasuk jenis syirkah yang dilarang oleh syara’. Sebab, ia menyalahi hukum syara’ yakni meninggal-kan perintah Allah swt berupa syarat-syarat berlakunya syarikat, sekaligus melakukan apa yang dilarang (diharamkan)-Nya.
                                                              i.      Mendapatkan harta dan mengembangkannya dengan menyalahi ketentuan syara’
Syara’ juga melarang mendapatkan dan mengembangkan harta melalui cara-cara riba, menimbun harta, berjudi, menipu, pemalsuan uang dan barang, menjual sesuatu yang telah diharamkan (seperti khamr, daging babi, bangkai), mencuri, mencopet, merampas, sogok maupun penggelapan (korupsi).
b)     Pemilikan Umum
Jenis pemilikan kedua adalah pemilikan umum. Ia merupakan jenis pemilikan yang oleh asy-syari’ (Allah swt) telah dijadikan milik bersama untuk kaum muslimin. Setiap individu dibolehkan memanfaatkannya, tetapi dilarang memilikinya.
Ada tiga macam sumber daya alam yang termasuk dalam kategori ini termasuk dalam pemilikan umum, yaitu:
1.1  Fasilitas umum, yang merupakan kebutuhan pokok bagi masyarakat sehari-hari, dan akan menimbulkan kesulitan jika tidak ada.
Tentang pemilikan bersama ini, Rasulullah saw bersabda:
“Masyarakat bersyarikat dalam tiga macam (sumber daya alam), yaitu air, padang penggembalaan dan api (bahan bakar seperti kayu, minyak dan lain-lain).” (HR. Abu Ubaid dalam kitab Al-‘Amwal, no. 729)
Bentuk pemilikan umum seperti ini tidak terbatas pada tiga macam sumber daya tersebut, melainkan mencakup segala sesuatu yang diperlukan secara meluas oleh masyarakat. Bahkan termasuk di dalamnya adalah setiap alat yang digunakan untuk menghasilkan ketiga macam sumber daya tadi. Alat-alat yang tergolong kelompok ini akan menjadi milik umum, misalnya pompa air, instalasi air yang menghubungkan sentral dengan konsumen, alat pembangkit listrik tenaga air (PLTA), tiang-tiang beserta kabelnya, dan kesemuanya ini adalah merupakan milik umum.
a.      Sumber daya alam yang tabiat pembentukannya menghalangi pemilikan individu secara perorangan.
Termasuk dalam jenis kategori ini adalah kereta api, tiang listrik, instalasi air, ataupun gorong-gorong (got) yang melintas di bawah jalan (sebab, jalan adalah milik umum dan tidak boleh dikuasai secara perorangan oleh individu). Juga tidak boleh seseorang mengambil sesuatu yang telah menjadi milik umum, untuk kepentingan pribadi. Rasulullah saw bersabda:
“Tidak ada yang berhak membuat pagar pembatas atas sesuatu, kecuali Allah swt dan Rasul-Nya.” (Shahih Bukhari, no. 2370, 3013; Abu Daud, no. 3083)
berdasar nash di atas, maka penentuan pagar pembatas atas sesuatu (semisal tanah) tidak boleh dibuat, kecuali oleh Negara.
b.      Bahan tambang yang tak terbatas
Yang dimaksud dengan bahan tambang yang tak terbatas adalah bahan tambang yang ada dalam jumlah banyak. Dikarenakan kuantitasnya yang tak terbatas tersebut, maka barang tambang ini menjadi milik umum. Oleh karena itu tidak dibolehkan seorang individu atau suatu perusahaan pun yang memilikinya. Tidak ada hak istimewa bagi individu ataupun bagi perusahaan untuk mengeksploitasi, meng-olah serta memonopoli pendistribusian hasil-hasilnya. Keberadaannya harus tetap menjadi hak/pemilikan bersama. Aktivitas eksplorasi dan eksploitasi dikelola sendiri oleh negara, atau dikontrakkan pada kontraktor, lantas produknya dijual atas nama kaum muslimin dan pendapatannya disimpan dalam Baitul Maal.
Dalam membahas bahan tambang ini tidak diperhatikan keberadaannya, apakah ada dipermukaan ataukah dalam perut bumi, semisal garam, batu celak dan yang dieksploitasi dengan susah payah seperti emas, perak, tembaga, besi, platina, timbal uranium, minyak dan yang lainnya. Semua itu sesungguhnya termasuk dalam kategori pemilikan umum.
Dalil yang menunjukkan hukum ini adalah berdasarkan riwayat Abyadl bin Hamaal Al-Maazini, bahwa ia telah meminta kepada Rasulullah saw untuk mengelola tambang garamnya di daerah Ma’rab. Lalu Rasulullah saw memberikannya. Setelah ia pergi, para shahabat bertanya:
“Wahai Rasulullah, tahukah engkau, apa yang engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau tidak lain telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir. Maka Rasulullah saw kemudian menarik kembali pemberiannya.” (HR. Abu Ubaid ibidem, no. 685)
Adapun tentang barang tambang yang jumlahnya sedikit (misalnya sisa-sisa tambang emas atau perak), maka ia tidak termasuk dalam pemilikan umum, dan boleh dimiliki secara perorangan. Rasulullah saw pernah memberikan hak pemilikan kepada Bilal bin Harits Al-Muzni sebuah tambang yang dimiliki qabilah-nya dan terletak di sebeleh Fara’ di Hijaz. Waktu itu Bilal meminta tambang tersebut kepada Rasulullah saw, Rasulullah pun memberikannya. (Abu Ubaid, ibidem, no. 679)
1.2  Tatacara Penggunaan Milik Umum
Pemilikan umum adalah salah satu jenis pemilikan bersama di antara kaum muslimin. Maka setiap orang dapat memanfaatkannya. Jika milik umum ini berupa sesuatu yang mudah diperoleh (dan siap pakai), misalnya air, padang penggembalaan, bahan bakar, jalan raya, sungai, laut, maka seseorang dapat memanfaatkannya langsung tanpa syarat tertentu.
Jika sumber daya alam yang merupakan milik umum itu tidak dapat diman-faatkan dengan mudah oleh individu, misalnya minyak bumi dan barang tambang, maka eksploitasinya menjadi hak dan kewajiban negara. Sedang hasil penjualannya disimpan di Baitul Maal. Kepala Negara (atau dalam istilah lain disebut Khalifah) mengalokasi-kannya untuk kepentingan umum, dan dapat mendistribusikan hasil produksi pemilikan umum tersebut untuk kepentingan-kepentingan berikut:
c)      Biaya administrasi dan eksploitasi sumber daya alam seperti membangun zona industri; penggalian milik umum; mendirikan perumahan; menggaji pegawai, konsultan, tenaga ahli; membeli alat-alat dan mendirikan pabrik-pabrik.
d)     Membagikan sumber daya alam ini merupakan hak bagi sang pemiliknya, dan Kepala Negara boleh membagikannya dalam bentuk benda yang memang diperlukan, seperti air, gas, minyak, listrik dengan cuma-cuma. Atau dalam bentuk uang hasil penjualan, yang kesemuanya itu didasarkan pada anggapan bahwa hal tersebut merupakan kebaikan dan memberikan kemaslahatan bagi kaum muslimin.
e)      Dialokasikan sebagian dari milik umum ini untuk biaya jihad dan perleng-kapannya, bekal pasukan perang dan biaya yang wajib dikeluarkan oleh Baitul Maal, baik dalam keadaan kas penuh atau kosong, dan atau yang diwajibkan atas kaum muslimin (yang mampu) untuk memberikan infaknya (secara sukarela, bila kas negara kosong atau tidak mencukupi keperluan tersebut).
f)      Pemilikan Negara
Pemilikan negara adalah setiap tanah atau bangunan yang padanya terdapat hak yang merupakan milik bersama bagi seluruh kaum muslimin akan tetapi tidak termasuk dalam kategori pemilikan umum. Oleh karena itu pemilikan negara adalah benda/area yang biasanya dapat dimiliki oleh individu, seperti tanah, bangunan dan benda-benda bergerak. Tetapi karena di dalam benda/area tersebut terdapat hak bersama bagi kaum muslimin, maka pengelolaan, pemeliharaannya serta peng-aturannya diserahkan kepada Kepala Negara (khalifah) atau negara (daulah). Sebab, Kepala Negaralah yang berhak mengatur dan mengelola setiap sesuatu yang berkaitan dengan hak bersama kaum muslimin secara keseluruhan, seperti padang pasir, gunung, pantai, tanah mati yang belum digarap dan tidak dimiliki seseorang, bangunan dan perkantoran yang dibeli atau dibangun oleh negara atau yang dirampas dari tangan musuh dalam peperangan seperti bangunan, departemen, kantor, sekolah, rumah sakit dan sejenisnya.
Negara berhak memberikan sebagian dari apa yang dimilikinya, yang pada umumnya boleh dimiliki oleh individu, baik berupa tanah ataupun bangunan. Kepala Negara boleh memberi hak pemilikan terhadap benda/area tersebut kepada anggota masyarakat, sekaligus memberi hak penggunaannya atau hanya memberikan hak penggarapan saja tanpa hak milik, atau sekaligus memilikinya. Dibolehkan, bahkan sangat dianjurkan, membuka dan menghidupkan tanah yang mati. Dalam hal ini, kewenangan Kepala Negara bebas memutuskan apa saja yang dianggap penting dan bermaslahat untuk rakyatnya.

2.4             Asas kedua: Pengelolaan dan pemanfaatan hak milik (tasharruf al-milkiyah)

Pengelolaan dan pemanfaatan hak milik merupakan cara yang wajib dilaksanakan oleh seorang muslim ketika menggunakan dan memanfaatkan hartanya. Untuk itu, Islam telah menentukan dua cara: (1) Pengembangan harta (tanmiyatu al-mal), (2) Pembelanjaan hak milik (infaq).
Pengembangan pemilikan berbeda dengan sebab pemilikan. Apabila sebab pemilikan berkenaan dengan usaha orang yang sebelumnya belum mempunyai kekayaan, maka pengembangan pemilikan adalah usaha orang yang sebelumnya telah mempunyai kekayaan.
Berkenaan dengan pengembangan pemilikan, Islam telah membenarkan seseorang untuk mengembangkan harta miliknya melalui perniagaan, seperti jual-beli, sewa-menyewa dan syarikat, serta mengharamkan riba, melakukan penimbunan, menipu, berjudi dan sebagainya. Juga melalui pertanian, seperti memiliki tanah untuk ditanami, dan mengharamkan tanah sawah atau ladang untuk disewakan.
Sedang mengenai masalah pembelanjaan pemilikan, Islam telah menetapkan bahwa setiap muslim hanya dimubahkan untuk membelanjakan hartanya di jalan yang dihalalkan oleh Allah. Apabila membelanjakan hartanya di jalan yang diharamkan, meskipun sedikit, hukumnya tetap haram. Inilah yang disebut dalam istilah fiqh dengan israf wa tabdzir. Pembelanjaan harta yang dibenarkan oleh Islam, seperti pembelanjaan untuk dirinya dan orang yang menjadi tanggungannya, seperti istri, anak dan orang tua, dimana hukumnya adalah fardhu. Juga pembelanjaan harta untuk tujuan menyambung silaturrahmi dan untuk sedekah kepada fakir, miskin dan orang-orang yang memerlukan, yang kesemuanya merupakan sunnah.

2.5             Asas Ketiga: Pendistribusian kekayaan di tengah masyarakat (tauzi’ amwal baina an-nas). Dalam hal ini, Islam telah mensyari’atkan hukum-hukum syara’ yang dapat menjamin pendistribusian kekayaan di tengah masyarakat secara merata, antara lain: (1) Mewajibkan zakat, (2) Pemberian hak kepada seluruh anggota masyarakat untuk memanfaatkan pemilikan umum (milkiyah aam), (3) Pemberian negara secara percuma kepada anggota masyarakat yang memerlukan, yang diambil dari harta negara, (4) Pembagian harta waris kepada ahli waris. Dan sebaliknya, Islam meng-haramkan: (1) Penimbunan emas dan perak (bisa dalam bentuk mata uang), (2) Penimbunan barang, serta (3) Bakhil serta kikir.

3                   INDUSTRI

Setiap orang dibolehkan memiliki jenis industri secara perorangan, seperti in-dustri otomotif (mobil), peralatan konveksi/perabotan (furniture), pemintalan (tenun), pengalengan dan industri jenis lain yang memang dibolehkan untuk dimiliki secara pribadi.
Industri juga boleh dimiliki negara, seperti industri persenjataan, pengeboran minyak dan industri barang-barang tambang, serta industri jenis lainnya.
Industri dapat menjadi milik umum, apabila bahan bakunya termasuk kategori pemilikan umum misalnya industri logam (besi dan baja), tembaga, emas, perak, eksplorasi minyak dan industri lainnya yang bahan bakunya termasuk milik umum. Sehingga sebuah industri dapat dimiliki sesuai dengan jenis bahan baku yang dipergunakannya. Hal ini sesuai dengan kaidah pemilikan industri yang telah digali dari nash-nash syara’, yaitu:
“Sesungguhnya pemilikan industri tergantung pada bahan baku yang dipergunakan”.

3.1.1        HUKUM-HUKUM PERSEROAN (SYIRKAH)

1. Perseroan dalam Islam
Perseroan (syirkah) dari segi bahasa bermakna penggabungan dua  bagian atau lebih, yang tidak bisa dibedakan lagi antara satu bagian dengan bagian yang lain. Sedangkan menurut syara’, perseroan adalah transaksi antara dua orang atau lebih, yang dua-duanya sepakat untuk melakukan kerja yang bersifat finansial dengan tujuan mencari keuntungan. Transaksi perseroan tersebut mengharuskan adanya ijab dan kabul sekaligus, sebagaimana layaknya transaksi yang lain.
Sedangkan syarat sah dan tidaknya transaksi perseroan tersebut amat tergantung pada sesuatu yang ditransaksikan, yaitu harus sesuatu yang bisa dikelola. Dan sesuatu yang bisa dikelola, atau sesuatu yang bisa ditransaksikan, atau transaksi perseroan ini haruslah sesuatu yang bisa diwakilkan, sehingga  sesuatu yang bisa dikelola tersebut sama-sama mengikat mereka.
Mengenai hukum perseroan ini sendiri adalah mubah, sebab ketika Nabi  saw. diutus, banyak orang yang telah mempraktikkan perseroan, lalu oleh Rasulullah sendiri hal itu didiamkan saja. Sehingga hal ini merupakan dalil tentang kemubahannya.
Perseroan bisa berbentuk perseroan hak milik (syirkatul amlak) atau perseroan transaksi (syirkatul uqud). Perseroan hak milik adalah perseroan terhadap zat barang, seperti perseroan dalam suatu zat barang yang diwarisi oleh dua orang, atau yang menjadi pembelian mereka, atau hibah yang diberikan oelh seseorang untuk mereka, maupun yang lain. Sedangkan yang kedua, disebut perseroan transaksi, karena yang menjadi obyeknya adalah pengembangan hak milik.
Selanjutnya perseroan transaksi dapat diklasifikasikan dalam lima (5) kelompok, yakni:
1.     Perseroan Inan
Perseroan inan adalah perseroan antara dua badan dengan harta masing-masing. Dengan kata lain, ada dua orang yang melakukan perseroan dengan masing-masing harta mereka untuk bersama-sama mengelola dengan badan-badan (tenaga) mereka, kemudian keuntungan dibagi diantara mereka. Perseroan ini disebut perseroan inan, sebab kedua belah pihak --yang melakukan perseroan tersebut-- sama-sama ikut mengelola.
Dalam perseroan semacam ini yang menjadi investasi adalah uang. Sebab uang adalah nilai kekayaan dan nilai harga yang harus dibeli. Sedangkan modal tidak boleh dipergunakan untuk mengadakan perseroan ini, kecuali kalau sudah dihitung nilainya pada saat melakukan transaksi, dan nilai tersebut akan dijadikan sebagai investasi pada saat terjadinya transaksi. Syaratnya investasi tersebut harus jelas, sehingga langsung bisa dikelola. Sebab, perseroan dengan investasi yang tidak jelas, tidak diperbolehkan. Oleh karena itu, tidak boleh mengadakan perseroan dengan kekayaan yang tidak ada atau hutang, sebab ketika --secara tiba-tiba-- terjadi pembubaran harus dikembalikan kepada investasi awal. Disamping, karena hutang tidak mungkin langsung dikelola, padahal disitulah tujuan perseroan tersebut.
Dalam perseroan ini tidak disyaratkan agar nilai kekayaan kedua belah pihak harus sama jumlahnya, dan tidak harus berupa satu macam. Hanya saja, kekayaan kedua belah pihak harus dinilai dengan nilai (standar) yang sama, sehingga keduanya bisa melebur menjadi satu. Sehingga boleh saja, terjadi perseroan antara kedua belah pihak dengan mempergunakan uang Mesir dan Syiria, namun keduanya harus dinilai dengan nilai (standar) yang sama, yang bisa menjadi pijakan ketika keduanya melakukan pembubaran, disamping menjadi sebab keduanya untuk melebur menjadi satu. Sebab investasi yang ada, disyaratkan, harus berupa kekayaan yang satu (melebur), hingga bisa berlaku untuk semua pihak, ssehingga masing-masing pesero tidak bisa lagi memilah-milah kekayaan satu pihak dengan pihak lain. Adapun syarat lain, kekayaan tersebut harus menjadi hak milik masing-masing orang yang melakukan perseroan tersebut.
Perseroan model inan ini dibangun dengan prinsip perwakilan (wakalah) dan kepercayaan (amanah). Sebab masing-masing pihak, dengan memberikan kekayaannya kepada peseronya, berarti telah memberikan kepercayaan kepada peseronya, serta dengan izinnya untuk mengelola kekayaan tersebut, maka masing-masing pihak telah mewakilkan kepada peseronya. Apabila perseroan tersebut telah sempurna, maka ia telah menjadi satu, dan para pesero tersebut harus secara langsung terjun melakukan kerja, sebab perseroannya terjadi pada badan (diri) mereka. Sehingga tidak diperbolehkan ada seseorang yang mewakilkan kepada oran lain untuk menggantikan posisinya dengan badan orang tersebut, untuk mengelola perseroannya. Namun, semuanya boleh menggaji sesiapa saja yang dikehendaki, dan memanfaatkan badan siapa saja yang dikehendaki sebagai ajiir perseroannya, bukan sebagai ajiir salah seorang pesero.
Masing-masing pesero boleh melakukan transaksi pembelian dan penjualan karena alasan tertentu yang menurutnya merupakan maslahat bagi perseroannya. Masing-masing juga berhak melepaskan harga dan barang yang dijual, dan berhak tidak sepakat dalam masalah hutang, serta berhak menuntut hutang, juga berhak memindahkan dan dipindahkan hutangnya, dan berhak pula mengembalikan cacat tertentu, disamping berhak mengontrak dengan investasi perseroan, dan dikontrak, sebab manfaat-manfaat tersebut berlaku untuk barang, sehingga statusnya sama dengan jual-beli. Masing-masing juga berhak menjual barang, seperti mobil, misalnya. Dan berhak mengontrakkannya sebagai barang dagangan, karena manfaatnya dalam perseroan tersebut sama dengan zat barang itu sendri, sehingga hal itu juga berlaku bagi perseroan tersebut.
Kedua belah pihak yang melakukan perseroan tersebut tidak harus sama nilai kekayaannya, namun yang harus sama adalah keterlibatannya dalam mengelola kekayaan tersebut. Kekayaan masing-masing boleh berbeda dan boleh juga sama nilainya. Sedangkan pembagian labanya tergantung kesepakatan mereka. Sehingga boleh membagi laba secara merata (fifty-fifty), dan boleh tidak sama. Ali ra. Berkata:
“Laba itu tergantung pada apa yang mereka sepakati bersama.” (HR. Abdurrazak)
Sementara beban tanggungan kerugian dalam perseroan inan, hanya ditentukan berdasarkan kadar nilai kekayaannya. Apabila kekayaan kedua belah pihak sama nilainya, maka kerugiannya harus ditanggung oleh keduanya secara merata. Apabila nilai kekayaan tersebut tiga dibanding satu (3 / 1), maka kerugian yang ada dihitung --dengan perbandingan-- tiga banding satu. Apabila kedua belah pihak menetapkan beban kerugian selain dengan ketentuan tersebut, maka kesepakatan mereka tidak ada nilainya, dimana ketentuan beban kerugian tersebut tetap diberlakukan, bukan dengan mengikuti kesepakatan mereka. Yaitu pembagian beban kerugian berdasarkan nilai kekayaan. Sebab, badan tidak bisa menanggung kerugian harta, selain kerugian tenaga yang dikeluarkannya. Sehingga kerugian hanya ditanggung oleh harta, dan ditanggung sesuai dengan tingkat investasi para peseronya. Sebab perseroan tersebut merupakan transaksi wakalah, yang mengharuskan orang yang diwakili tidak bisa menanggung (kerugian). Jadi, kerugian yang ada hanya berlaku pada kekayaan orang yang mewakilkan. Abdurrazak dalam al-jami’ meriwayatkan dari Ali ra. yang mengatakan:
“Pungutan itu tergantung pada kekayaan. Sedangkan laba tergantung pada apa yng mereka sepakati bersama.”
2.     Perseroan Abdan
Perseroan Abdan adalah perseroan antara dua orang atau lebih dengan badan masing-masing pihak, tanpa harta dari mereka. Dengan kata lain, mereka melakukan perseroan dalam pekerjaan yang mereka lakukan dengan tangan-tangan mereka, atau dengan tenaga mereka, semisal melakukan kerja tertentu, baik kerja pemikiran maupun fisik. Sedangkan apa yang menjadi keuntungan mereka, akan dibagi di antara mereka, sebagai misal perseroan para arsitek atau insinyur.
Antar pesero tidak harus ada kesamaan dalam masalah keahlian, dan tidak harus semua pesero yang terlibat dalam perseroan tersebut.oleh karena itu, apabila para pengrajin, misalnya, dengan berbagai keahliannya telah melakukan perseroan maka perseroan tersebut hukumnya mubah. Apabila mereka melakukan  perseroan untuk mengerjakan pekerjaan tertentu, misalnya yang satu memimpin perseroan, lalu yang lain mengeluarkan biayanya, sementara yang lain lagi mengerjakan dengan tangannya, maka perseroan tersebut hukumnya sah. Jadi, apabila para pekerja dalam suatu perusahaan melakukan perseroan, baik semua peseronya mengerti tentang industri, atau yang mengerti hanya sebagian sedang yang lain tidak, kemudian semuanya melakukan perseroan dengan para pengrajin, pekerja, juru tulis dan penjaga yang semuanya menjadi pesero dalam perusahaan tersebut, maka itu pun hukumnya mubah. Hanya saja syarat pekerjaan yang dilakukan dalam perseroan dengan tujuan mencari keuntungan tersebut harus pekerjaan yang mubah. Apabila pekerjaan tersebut haram, maka perseroan dalam rangka melakukan pekerjaan tersebut hukumnya haram.
Pembagian laba dalam perseroan abdan ini sesuai dengan apa yang menjadi kesepakatan mereka. Bisa jadi sama, atau bisa jadi tidak. Sebab, pekerjaan tersebut layak memeperoleh keuntungan, dan karena orang yang melakukan perseroan tersebut bisa berbeda-beda dalam melakukan pekerjaan, maka keuntungan yang diperoleh di antara mereka juga bisa berbeda-beda. Mereka, masing-masing, berhak mendapat upah dari pihak yang mengontrak mereka, sekaligus mendapatkan harta barang yang mereka produksi dari pihak pembeli. Sedangkan pihak yang mengontrak mereka atau yang membeli barang yang mereka produksi, berhak membayar seluruh upah atau harga semua barang kepada mereka. Dan siapa saja yang telah dibayar, maka dia telah lepas haknya.
Apabila seorang pesero melakukan pekerjaan, sedangkan peseronya tidak, maka hasil kerja tersebut tetap berlaku bagi mereka. Sebab pekerjaan tersebut, sebenarnya mereka pikul bersama-sama. Sehingga dengan adanya saling tanggung di antara mereka untuk melakukan pekerjaan tersebut, maka wajib diberi upah. Sehingga pekerjaan tersebut menjadi hak mereka, sebagaimana tanggungan  tersebut telah menjadi tanggungan mereka. Salah seorang dari mereka tidak berhak mewakilkan kepada orang lain sebagai pesero dengan badan orang yang bersangkutan, sebagaimana salah seorang di antara mereka tidak boleh mengontrak seorang ajiir sebagai pesero dengan badannya. Sebab, transaksi perseroan tersebut mengikat zat (tubuh) seseorang. Sehingga orang yang bersangkutan harus melakukan pekerjaan itu sendiri, karena yang menjadi pesero adalah badannya, dan badannya itulah yang ditentukan dalam perseroan tersebut.  Namun, salah seorang dari mereka boleh mengontrak seorang ajiir karena kontrak tersebut dari dan untuk perseroannya, meskipun hal itu dilakukan oleh seorang dari pesero. Dan ajiir tersebut bukan sebagai pengganti, wakil, serta ajiir orang tersebut. Sehingga, tindakan masing-masing pesero tersebut adalah tindakan sebuah perseroan. Dan mereka, masing-masing, terikat dengan pekerjaan yang diterima (disepakati) oleh peseronya.
Perseroan semacam ini hukumnya adalah mubah, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Al-Atsram dengan sanad dari Ubaidah dari bapaknya, Abdullah bin Mas’ud yang mengatakan: “Aku, Ammar bin Yasir dan Sa’ad bin Abi Waqqash melakukan syirkah (perseroan) terhadap apa yang kami dapatkan pada perang Badar, kemudian Sa’ad membawa dua orang tawanan perang, sementara aku dan Ammar tidak membawa apa-apa.” Tindakan mereka itu dibiarkan oleh Rasulullah saw. Imam Ahmad bin Hanbal berkata: “Nabi saw. melakukan syirkah (perseroan) dengan mereka.” Hadits ini menjelaskan dengan tegas tentang perseroan sekelompok shahabat dengan badan-badan mereka untuk melakukan pekerjaan, yaitu memerangi musuh, kemudian membagi ghanimah yang mereka peroleh, apabila mereka memperoleh keuntungan dalam perang.
3.     Perseroan Mudlarabah
Perseroan mudlarabah ini juga disebut qiradh. Yaitu apabila ada badan dengan harta melebur untuk melakukan suatu perseroan. Dengan kata lain, ada seseorang memberikan hartanya kepada pihak lain yang dipergunakan untuk berbisnis, dengan ketentuan bahwa keuntungan (laba) yang diperoleh akan dibagi oleh masing-masing pihak sesuai dengan kesepakatan. Hanya saja, ketika terjadi kerugian dalam perseroan mudlarabah ini, kerugiannya tidak dikembalikan kepada kedua belah pihak yang melakukan perseroan, namun dikembalikan pada ketentuan syara’. Menurut syara’, kerugian dalam perseroan mudlarabah ini secara khusus dibebankan kepada harta, dan tidak dibebankan sedikitpun kepada pengelola --yang nota bene hanya mempunyai badan saja.
Seandainya antara pemilik modal (investor) dengan pengelola sama-sama sepakat, bahwa keuntungan dan kerugian dibagi berdua, maka keuntungannya tetap dibagi berdua, sedangkan kerugiannya dikembalikan kepada harta. Sebab, perseroan tersebut statusnya sama dengan wakalah, dimana hukum orang yang menjadi wakil tidak bisa menanggung (kerugian), sehingga kerugian tersebut hanya ditanggung olleh pihak yang mewakilkan saja. Abdurrazak di dalam kitab al-Jami’ telah meriwayatkan dari Ali ra. yang berkata: “Pungutan itu tergantung pada kekayaan. Sedangkan laba tergantung pada apa yang mereka sepakati bersama.” Jadi, badan tidak bisa menanggung harta, selain menanggung kerugian tenaga yang dikeluarkannya. Sehingga kerugian hanya dibebankan kepada harta.
Perseroan mudlarabah ini tidak dinyatakan sah sampai modalnya diserahkan kepada pihak pengelola, kemudian masing-masing saling memberikan kepercayaan. Sebab, perseroan mudlarabah ini menuntut diserahkannya modal kepada pihak pengelola. Dalam perseroan mudlarabah ini juga wajib diperkirakan bagian pihak pekerja, dan modal yang dikelola dalam mudlarabah ini harus jelas nilainya. Pihak pemodal tidak diperbolehkan ikut bekerja dengan pengelolanya. Kalau hal itu memang dijadikan syarat, maka syarat tersebut tidak sah. Sebab, pihak pemodal tidak berhak mengelola harta yang sudah dilebur dalam perseroannya. Bahkan pihak pemodal tidak berhak mengelola perseroan tersebut secara mutlak. Namun, pihak pengelolalah yang berhak mengelola, karena transaksi perseroan ini merupakan transaksi antara badan pengelola dengan modal pihak pemodal, bukan antara badan pengelola dengan badan pemodal. Sehingga, pihak pemodal layaknya pihak luar di luar perseroan  tersebut, dimana dia sama sekali tidak berhak mengelolanya.
Hanya saja, pihak pengelola tetap terikat dengan izin mengelola yang diberikan oelh pihak pemodal, sehingga tidak boleh menyimpang dari izin tersebut. Sebab seorang pengelola baru bisa mengelola setelah ada izin dari pemodal. Apabila pihak pemodal hanya memberikan izin kepada pengelola untuk memperdagangkan wol saja, atau mencegah untuk mengirim barang via laut, maka ketentuan itu mengikatnya. Hanya hal itu tidak berarti, pihak pemodal ikut mengelola perseroan tersebut, sebab hak mengelola perseroan tersebut hanya menjadi hak pengelola saja.
Yang juga termasuk dalam kategori mudlarabah adalah apabila ada dua pemodal melakukan perseroan dengan badan dari salah seorang dari pemodal tersebut. apabila di antara dua orang mempunyai modal tiga ribu, salah satunya mempunyai modal seribu dan yang lainnya bermodalkan dua ribu, lalu pemodal yang mempunyai modal dua ribu memberi izin kepada pihak yang bermodal seribu untuk mengelola modal mereka, dengan pembagian keuntungan fifty-fifty di antara mereka, maka perseroan semacam ini hukumnya mubah. Sehingga, orang yang bermodal seribu tersebut berstatus sebagai pengelola sekaligus pesero orang yang memiliki modal dua ribu. Begitu pula, yang termasuk dalam kategori perseroan mudlarabah adalah apabila ada dua modal melakukan perseroan dengan badan orang lain, maka praktik ini pun termasuk dalam kategori perseroan mudlarabah.
Perseroan mudlarabah ini, sekali lagi, menurut syara’ hukumnya mubah, berdasarkan sebuah riwayat: “Bahwa Abbas bin Abdul Muthallib pernah memberikan modal mudlarabah, dan dia memberikan syarat-syarat tertentu kepada pengelola, kemudian hal itu sampai kepada Nabi saw. dan beliau pun membenarkannya.” Ijma’ shahabat juga telah sepakat mengenai kemubahan perseroan mudlarabah ini.
4.     Perseroan Wujuh
Perseroan wujuh adalah perseroan antara dua badan dengan modal dari pihak di luar kedua badan tersebut. artinya, salah seorang memberikan modalnya kepada dua orang atau lebih, yang bertindak sebagai mudlarib. Sehingga kedua pengelola tersebut menjadi pesero yang sama-sama bisa mendapatkan keuntungan dari modal pihak lain. Kedua pihak tersebut kemudian boleh membuat kesepakatan untuk membagi keuntungan 3/3; masing-masing pengelola mendapatkan 1/3 dan pihak pemodal mendapatkan 1/3. juga boleh mengambil kesepakatan untuk membagi keuntungan 4/4; pihak pemodal mendapatkan  1/4, salah seorang pengelola mendapatkan 1/4, sedangkan pengelola yang lain mendapatkan 1/2. kadang melakukan kesepakatan untuk membagi keuntungan dengan kesepakatan lain. Dengan adanya kesepakatan tersebut, akan terjadi perbedaan dalam pembagian keuntungan di antara kedua pengelola tadi, sehingga perseroan mereka --berdasarkan perbedaan yang dikhususkan bagi mereka-- itu dibentuk dengan melihat kedudukan salah seorang di antara mereka atau kedudukan mereka masing-masing, baik dilihat dari segi profesionalisme dalam bekerja, maupun dari segi kemampuan pengelolaannya. Sebab mengelola modal yang mereka miliki, menurut syara’, harus dilakukan bersama. Oleh karena itu, perseroan ini merupakan bentuk lain, yang berbeda dengan perseroan mudlarabah, meski hakikatnya perseroan tersebut tetap kembali kepada model mudlarabah, yakni dalam hal bergabungnya modal dengan badan.
Yang juga termasuk dalam kategori perseroan wujuh adalah, apabila ada  dua orang atau lebih melakukan perseroan dengan harta yang sama-sama menjadi pembelian mereka, karena adanya kepercayaan para pedagang kepada mereka. Dimana, kepercayaan inilah yang melahirkan kedudukan mereka, dan bukannya modal mereka. Syaratnya, kepemilikan mereka atas harta yang menjadi pembelian mereka harus fifty-fifty, atau satu banding tiga, atau satu banding empat, ataupun yang lain. Kemudian masing-masing menjualnya, sehingga keuntungan yang mereka peroleh bisa dibagi secara fifty-fifty, atau satu banding tiga, ataupun yang lain, sesuai kesepakatan mereka, dan bukan atas dasar barang yang menjadi hak milik mereka. Adapun kerugiannya ditentukan sesuai dengan pemilikan mereka atas harta pembeliannya, sebab status pembelian tersebut sama dengan harta mereka, dan bukan berdasarkan beban kerugian yang telah mereka sepakati, juga bukan berdasar atas hasil pembagian keuntungan; baik keuntungan di antara mereka sesuai dengan hasil pembeliannya, ataupun masing-masing berbeda sesuai dengan hasil pembeliannya.
Dua model perseroan wujuh ini sama-sama diperbolehkan (mubah). Sebab, bila masing-masing pesero melakukan perseroan dengan harta pihak lain, maka perseroan tersebut termasuk dalam kategori perseroan mudlarabah, yang telah dinyatakan kemubahannya berdasarkan as-sunnah dan ijma’ shahabat. Apabila masing-masing melakukan perseroan dengan harta pihak lain yang mereka peroleh, yaitu hasil pembelian mereka, karena kedudukan dan kepercayaan pedagang pada mereka, maka perseroan ini termasuk dalam perseroan abdan, yang juga telah dinyatakan kebolehannya berdasarkan as-sunnah. Oleh karena itu, perseroan wujuh ini kebolehannya telah dinyatakan berdasarkan as-sunnah dan ijma’ shahabat.
Akan tetapi harus dipahami, bahwa yang dimaksud dengan kepercayaan disini adalah kepercayaan yang bersifat finansial, yaitu kepercayaan karena kredibilitas, bukan pangkat dan kehormatan. Hal ini disebabkan keterkaitannya dalam konteks bisnis.
Dengan demikian, apa yang terjadi dalam beberapa perseroan, semisal kasus masuknya seorang menteri menjadi salah seorang anggota pesero dan mendapat bagian keuntungan dengan jumlah tertentu, tanpa harus mengeluarkan harta atau tenaga apapun, melainkan keterlibatannya tak lebih sekedar memanfaatkan posisinya, sehingga perseroan tersebut dengan mudahnya melakukan muamalah dengannya, maka praktik semacam ini sungguh tidak bisa dikategorikan sebagai perseroan wujuh. Bahkan keberadaannya tidak diakui sebagai sebuah perseroan dalam Islam, dan terlarang.
5.     Perseroan Mufawadlah
Perseroan mufawadlah adalah perseroan antara dua pesero sebagai gabngan bentuk semua bentuk perseroan yang disebut di atas (inan, abdan, mudlarabah dan wujuh). Sebagai satu misal, dua pesero menggabungkan antara perseroan model inan, abdan, mudlarabah, dan wujuh. Contohnya adalah, seseorang memberikan modalnya kepada dua orang insinyur untuk mengadakan perseroan agar modalnya dikelola dengan harta mereka, dengan tujuan membangun beberapa rumah untuk dijual dan diperdagangkan. Kemudian keduanya sepakat untuk  melibatkan harta yang menjadi  milik mereka. Lalu keduanya mendapatkan barang tanpa harus membayar harganya secara kontan, karena keduanya mendapatkan kepercayaan dari para pedagang. Maka perseroan kedua insinyur tersebut secara bersama-sama dengan badan mereka adalah perseroan abdan dilihat dari segi, bahwa mereka sama-sama membangun rumah. Sedangkan dari segi harta yang sama-sama mereka keluarkan, disebut perseroan inan. Sementara dilihat dari segi, bahwa keduanya sama-sama mendapat modal dari pihal lain untuk dikelola adalah perseroan mudlarabah. Lalu kerjasama mereka untuk mengelola barang yang menjadi hasil pembelian mereka, melalui kepercayaan pedagang kepada mereka, adalah perseroan wujuh.
Dengan demikian, perseroan tersebut di atas telah menggabungkan semua bentuk perseroan di dalam Islam, sehingga hukumnya tetap sah. Sebab, masing-masing perseroan tersebut hukumnya sah, sehingga hukum perseroan tersebut juga sah, apabila digabung dengan perseroan yang lain. Sedangkan keuntungannya, tergantung dari kesepakatan mereka. Oleh karena itu, boleh membagi keuntungan berdasarkan nilai dua modalnya, atau boleh fifty-fifty, meskipun investasinya tidak sama, dan diperbolehkan pula pembagian keuntungannya berbeda, meskipun investasinya tidak sama.
Model perseroan mufawadlah ini diperbolehkan, karena dinyatakan oleh nash. Sedangkan bentuk-bentuk perseroan mufawadlah yang lain, yang telah disebutkan oleh para fuqaha’, yaitu perseroan yang dilakukan antara dua orang. Modal keduanya sama, termasuk keterlibatan dan hutangnya juga sama, kemudian masing-masing menyerahkan secara mutlak kepada peseronya. Cara semacam ini sama sekali tidak diperbolehkan, sebab tidak ada nash satu pun yang menjelaskan tentang praktik seperti ini. Sedangkan hadits yang menjadi dasar argumentasi mereka:
“Apabila kalian saling menyerahkan, maka sempurnakanlah penyerahan itu.”
“Saling serah-menyerahkanlah kalian, sebab hal itu merupakan berkat yang paling besar.”
Dua hadits ini, masing-masing tidak ada yang shahih. Disamping maknanya tidak bisa dipergunakan untuk menjelaskan praktik tersebut. Disamping karena perseroan ini merupakan perseroan modal yang tidak jelas, sekaligus perseroan kerja yang tidak jelas. Dari ini saja sudah cukup untuk membuktikan ketidakabsahan  perseroan ini. Disamping harta mereka nantinya menjadi warisan, yang akan berlaku setelah yang mewariskan meninggal. Padahal boleh jadi salah seorang di antara mereka adalah kafir dzimmi, sehingga mana mungkin dia diwarisi. Juga karena perseroan tersebut mengandung makna wakalah, padahal transaksi wakalah terhadap sesuatu yang tidak jelas hukumnya tidak sah. Jadi, semua ini menunjukkan bahwa jenis perseroan mufawadlah semacam ini tidak sah.

3.1.2        PEMBUBARAN PERSEROAN

Perseroan merupakan transaksi yang menurut syara’ hukumnya mubah. Perseroan menjadi batal karena meninggalnya salah seorang pesero, atau karena salah seorang di antara mereka gila, atau dikendalikan pihak lain karena ”ketotolannya”, atau bisa dikarenakan salah seorang di antara mereka membubarkannya. Apabila perseroan tersebut terdiri dari dua orang, sementara perseroan tersebut merupakan transaksi yang mubah, maka dengan adanya hal-hal semacam ini, ia bisa batal, sebagaimana transaksi wakalah. Apabila salah seorang peseronya meninggal, lalu mempunyai ahli waris yang telah dewasa, maka ahli warisnya bisa meneruskan perseroan tersebut. dia juga bisa diberi izin untuk ikut dalam pengelolaan perseroan tersebut, disamping berhak pula atas bagian keuntungannya.
Apabila salah seorang pesero menuntut pembubaran, maka pesero yang lain harus memenuhi tuntutan tersebut. mereka terdiri dari beberapa pesero, lalu salah seorang di antara mereka menuntut pembubaran, sementara yang lain tetap bersedia melanjutkan perseroannya, maka pesero yang  yang lain statusnya tetap sebagai pesero, dimana perseroan yang terlah dijalankan sebelumnya telah rusak, kemudian diperbaruhi (dengan akad yang baru) di antara pesero yang masih bertahan untuk mengadakan perseroan tersebut.
Hanya masalahnya, perlu dibedakan antara pembubaran dalam perseroan mudlarabah dengan perseroan yang lain. Dalam perseroan mudlarabah, apabila salah seorang pengelola menuntut dilakukan penjualan sedangkan peseronya menuntut bagian keuntungan, maka tuntutan pengelola tersebut harus dipenuhi, sebab keuntungan tersebut merupakan haknya, karena keuntungan tersebut tidak terwujud selain dalam penjualan. Adapun dalam bentuk perseroan yang lain, apabila salah seorang menuntut bagian keuntungan, sementara yang lain menuntut dilakukan penjualan, maka tuntutan bagian keuntungan tersebut harus dipenuhi, meskipun tuntutan penjualan tidak demikian.

3.1.3        PERSEROAN DALAM SISTEM KAPITALIS

Perseroan dalam sistem kapitalis adalah transaksi yang karena transaksi tersebut, dua orang atau lebih, masing-masing terikat untuk memberikan saham dalam sebuah proyek padat modal , dengan memberikan investasi, baik berupa harta maupun kerja agar bisa mendapatkan pembagian hasil dari proyek tersebut, baik berupa keuntungan (deviden) maupun kerugian. Perseroan tersebut bisa diklasifikasikan menjadi dua: yaitu perseroan orang dan perseroan modal.
Perseroan orang adalah perseroan yang di dalamnya terdapat unsur manusia, dimana manusia mempunyai pengaruh dalam perseroan tersebut, berikut dalam memperkirakan pembagian hasil keuntungannya. Perseroan jenis ini adalah seperti  perseroan Firma dan perseroan Company Limited by Guarantee. Berbeda dengan perseroan modal, sebab dalam perseroan jenis ini tdak terdapat unsur manusia sama sekali, baik nilai maupun pengaruhnya. Bahkan perseroan ini menafikan unsur manusia sama sekali, dimana dalam pembentukan dan perjalanannya, hanya terdiri dari unsur modal saja. Perseroan ini adalah seperti perseroan saham (corporation) dan perseroan Company Limited by Shares.
1.      Perseroan Firma
Perseroan ini merupakan transaksi antara dua orang atau lebih yang sepakat melakukan perdagangan bersama dengan nama tertentu, kemudian semua anggotanya terikat dengan hutang-hutang perseroan dengan jaminan harta milik mereka, tanpa batas. Oleh karena itu, tidak satupun pesero bisa melepaskan haknya  dalam pesero ini kepada orang lain, kecuali dengan seizin pesero lain. Dan perseroan ini bisa dibubarkan, karena salah seorang peseronya meninggal dunia, atau karena ketotololannya dia harus dikendalikan orang lain,  ataupun karena pailit, selama tidak ada kesepakatan untuk menolak pembubaran tersebut.
Semua anggota perseroan ini dalam perjanjiannya sama-sama bertanggung jawab di hadapan anggota yang lain dalam rangka melaksanakan semua isi perjanjian perseroan. Dalam hal ini tanggung jawab mereka tidak terbatas; dimana tiap pesero dituntut untuk memenuhi semua hutang perseroan, bukkan hanya dengan harta perseroan saja, tetapi termasuk dengan harta peseronya. Sehingga dia harus memberikan hartanya, setelah harta perseroannya habis untuk menutupi hutang perseroan, jika ternyata masih kurang. Perseroan ini tidak mentolerir perluasan proyek. Adapun pembentukan perseroan ini baru sempurna kalau ada beberapa orang, yang masing-masing saling menaruh kepercayaan dan memahami dengan baik. Yang lebih penting adalah memahami kepribadian para pesero, bukan hanya badannya saja, tetapi juga dari segi pusat dan pengaruhnya di tengah masyarakat.
Penilaian Islam:
Perseroan di atas adalah batil, sebab syarat-syarat yang dinyatakan dalam perseroan tersebut bertentangan dengan syarat-syarat yang ditetapkan dalam Islam. Karena hukum syara’ tidak pernah mensyaratkan kepada pesero, selain kebolehan untuk mengelola saja. Perseroan dalam Islam memperkenankan keinginan akan perluasan proyek, apabila para peseronya memang bersepakat dalam hal tersebut. caranya bisa dengan jalan menambah investasi atau menambah jumlah pesero (investor)-nya. Mereka secara mutlak berhak mengelola, sehingga berhak pula atas segala sesuatu yang dikehendaki. Disamping karena pesero dalam Islam tidak mengenal tanggung jawab dalam perseroannya dengan jaminan pribadinya, kecuali sebatas investasinya dalam perseroan. Juga karena seorang pesero --dalam pandangan Islam-- berhak keluar kapan saja, kalau dia menghendaki keluar, tanpa harus disertai kesepakatan pesero yang lain.
Perseroan --dalam Islam-- tersebut juga tidak bisa dibubarkan karena meninggalnya salah seorang pesero, atau karena pesero tersebut dikendalikan oleh orang lain, selain rusaknya perseroan pesero yang bersangkutan, sedang pesero yang lain masih tetap; apabila perseroan tersebut terdiri lebih dari dua orang. Inilah syarat-syarat yang ditetapkan oleh syara’.
2.      Perseroan Saham
Perseroan saham adalah perseroan yang terbentuk dari para pesero yang tidak dikenali oleh khalayak. Pendiri perseroan saham adalah tiap orang yang melakukan transaksi perseroan yang pertama. Sebab, transaksi yang pertama itulah yang menjadikan pelakunya terikat dengan aktivitas tertentu dalam rangka merealisasikan tujuan bersama, yaitu perseroan. Sedangkan untuk mendaftarkan diri dalam perseroan tersebut, mengharuskan seseorang untuk membeli saru lembar surat saham atau lebih, dari saham proyek perseroan, sebagai kompensasi dari nilai nama perseroan tersebut. kompensasi tersebut merupakan salah satu bentuk keterlibatan untuk mengelola “kehendak sendiri”, artinya untuk menjadi pesero seseorang cukup dengan membeli beberapa lembar surat saham, tanpa mempedulikan penerimaan ataupun penolakan dari pesero yang lain.
Pendaftaran tersebut bisa diupayakan dengan dua cara: Pertama, para pendiri perseroan tersebut menentukan saham-saham perseroan, lalu membagi saham-saham tersebut kepada kalangan intern mereka, bukan untuk disebarkan kepada khalayak. Hal itu ditempuh dengan cara membebaskan peraturan sistem perseroan yang memuat tentang syarat-syarat yang akan dilaksanakan oleh perseroannya, lalu mereka tandatangani, sehingga siapa saja yang ikut mendatangani peraturan tersebut dianggap sebagai pendiri sekaligus pesero. Begitu penandatanganan itu selesai, maka berdirilah perseroan tersebut.
Cara yang kedua, adalah dengan melakukan pendaftaran, dan cara inilah yang tersebar di seluruh dunia, yaitu adanya beberapa orang yang melakukan pendirian perseroan. Kemudian mereka membuat sistem perseroan, lalu perseroan tersebut melempar sahamnya kepada khalayak agar bisa mengajukan dirinya sebagai anggota. Apabila waktu pendaftaran berakhir, maka diadakan rapat umum pemegang saham perseroan untuk memberikan masukan tentang sistem perseroan serta menentukan dewan komisaris perseroan. Dan tiap penanam saham, berapapun jumlah sahamnya, berhak untuk hadir dalam rapat umum pemegang saham, hatta yang bersangkutan hanya memiliki satu lembar saham. Kemudian perseroan tersebut bisa memulai kegiatannya.
Kedua cara tersebut pada hakikatnya sama, yakni dalam hal pemberian modal, dimana perseroan tersebut tidak bisa dianggap berdiri, kecuali setelah berakhirnya penandatanganan pendiri perseroan tersebut pada cara pertama, dan berakhirnya batas waktu pendaftaran pada cara kedua. Sehingga transaksi perseroan semacam ini hanya merupakan transaksis antarmodal, dan di dalamnya sama sekali tidak ada unsur manusia. Jadi, modal-modal itulah yang sebenarnya telah melakukan perseroan, bukan orang-orangnya. Sebab modal-modal inilah yang telah membentuk perseroan dengan modal-modal pihak lain, tanpa adanya satu orang pun.
Oleh karena itu, tiap pesero sama sekali tidak berhak --berapa pun jumlah sahamnya-- untuk memimpin aktivitas perseroan tersebut, atas nama pesero. Dia juga tidak berhak bekerja dalam perseroan tersebut, ataupun ikut serta mengendalikan aktivitas perseroan, atas nama pesero. Sebab, yang berhak memimpin aktivitas perseroan dan yang berhak bekerja di sana, dan ikut mengendalikan serta mengarahkan setiap aktivitasnya adalah orang yang disebut sebagai direktur, yang dipilih dan diangkat oleh dewan komisaris. Dewan komisaris ini akan memilih  dari kalangan pemegang saham, dimana tiap orang ada di dalamnya memiliki hak suara, berdasarkan kadar pemilikan modalnya, bukan berdasarkan manusianya. Sebab, peseronya adalah modal, sehingga modallah yang menentukan jumlah suaranya; dengan ketentuan tiap lembar surat saham mewakili satu suara, dan bukan tiap orang satu suara. Sehingga dalam perseroan saham tersebut, seorang penanam saham tidak ada nilainya, sebab yang dinilai adalah modalnya.
Perseroan saham ini bersifat tetap,dan tidak terikat dengan hidup dan matinya seorang pesero. Adapun modal perseroan tersebut, bisa dibagi menjadi sejumlah bagian yang nilainya sama, dan biasanya disebut dengan sebutan saham. Adapun penanam saham adalah seorang pesero yang tidak perlu diselidiki karakter pribadinya, di mana tanggung jawabnya ditentukan berdasarkan kadar investasinya. Oleh karena itu, para pesero tidak harus menanggung kerugian selain sesuai dengan kadar saham mereka dalam perseroan tersebut. bagian pesero tersebut juga bisa dipindahkan, dijual atau dimiliki orang lain, tanpa seizin pesero yang lain. Disamping itu, perlu diketahui bahwa saham-saham tersebut merupakan “kertas yang bernilai nominal”, yang seolah-olah mencerminkan dan mewakili nilai sebuah modal. Sedangkan yang bisa dipindahkan, yaitu nilai nominal yang tercatat di dalam surat-surat saham, tidak bisa mengikat selain dengan membayar nilai saham yang tertera.
Saham memang bagian dari kekuatan perseroan, yang tidak bisa dipecah lantaran kedudukannya sebagai bagian dari modal. Dan surat-surat saham tersebut layaknya formulir pendaftaran dalam investasi, sementara di sisi lain, nilainya tidak tetap, tetapi berubah-ubah sesuai dengan untung dan ruginya perseroan.
Dengan demikian, saham-saham tersebut tidak mencerminkan modal yang diinvestasikan pada saat pendirian perseroan, selain hanya mencerminkan modal perseroan pada saat dibeli, atau pada waktu tertentu saja. Maka, saham-saham tersebut hampir sama dengan kertas uang yang harganya fluktuatif, bisa naik dan bisa pula turun, bergantung “nasib”nya di bursa saham.
Dalam perseroan, keuntungan dan kerugiannya akan menentukan secara langsung nilai saham. Sehingga bisa dipahami bahwa saham merupakan barang yang tunduk pada demand dan supply.
Penilaian Islam:
Perseroan ini adalah perseroan yang batil dimata syara’, dan dapat diurai sebagai berikut:
Pertama, definisi perseroan dalam Islam adalah transaksi antara dua orang atau lebih yang telah sepakat untuk melakukan pekerjaan yang bersifat finansial dengan tujuan mencari keuntungan (laba). Sehingga transaksi yang berlangsung adalah dari dua orang atau lebih. Jadi tidak boleh terjadi kesepakatan sepihak. Transaksi harus dilakukan dalam rangka melakukan pekerjaan yang bersifat finansial, dengan tujuan mencari keuntungan, sebaliknya tidak diperkenankan bila dilakukan dalam rangka memberikan modal. Begitu pula dalam tujuannya, tidak cukup hanya sekedar bergabung saja. Oleh karena itu, pekerjaan yang bersifat finansial tadi merupakan pijakan dalam mengadakan perseroan. Dan untuk melakukan pekerjaan yang bersifat finansial tersebut, adakalanya dari kedua belah pihak yang melakukan transaksi, atau dari satu pihak sedangkan modal dari pihak lain.
Orang-orang kapitalis mendefinisikan perseroan saham tersebut sebagai transaksi, yang karenanya dua orang atau lebih terikat untuk menanamkan saham dalam suatu proyek padat modal, dengan memberikan investasi berupa modal agar bisa mendapatkan pembagian keuntungan (deviden) atau kerugian dari proyek tersebut. dari definisi ini, termasuk fakta pendirian perseroan, dengan dua cara di atas, nampak bahwa perseroan tersebut bukan merupakan transaksi antara dua orang atau lebih yang sesuai dengan hukum syara’. Sebab transaksi menurut hukum syara’ adalah terjadinya ijab dan qabul antara dua pihak; baik dua orang atau lebih. Dan tanpa hal tersebut, maka transaksi dipandang belum terbentuk, bahkan menurut syara’ tidak bisa disebut sebagai transaksi. Sedang perseroan saham dalam hal ini tidak memenuhi kriteria tersebut, melainkan hanya keterikatan dengan “kehendak pribadi” dari satu pihak.
Disamping ketiadaaan kesepakatan antara dua pihak, dalam perseroan saham belum terdapat kesepakatan untuk melakukan suatu pekerjaan, selain keterikatan seseorang untuk memberikan modalnya. Di dalamnya juga tidak terdapat badan yang melakukan pengelolaan, dalam kapasitas badan tersebut sebagai manusia yang terdapat dalam perseroan, namun yang ada hanyalah modal tanpa disertai badan sama sekali. Dengan demikian, transaksi perseroan saham dari aspek ini, menurut syara’, batil.
Kedua, secara ringkas dapat dikatakan bila perseroan saham pada dasarnya tidak pernah berdiri sebagai suatu perseroan, sebab yang menjadi persero hanya modal, dimana tidak ada sama sekali unsur pesero badan. Padahal, pesero badan merupakan syarat utama, karena yang berkaitan dan berhubungan langsung dengan eksistensi sebuah perseroan.
Mengenai perseroan saham, menurut penganut ekonomi liberal kapitalis, bisa sempurna karena adanya pesero modal yang melakukan perseroan, bukan karena yang lain. Perseroan tersebut sibuk dan melakukan aktivitasnya tanpa harus ada pesero badan, bahkan pesero badan --dalam perseroan saham-- tidak memiliki nilai sedikit pun. Pada titik ini pulalah letak kebatilan perseroan saham ini, sebab menurut syara’ belum dinilai sebagai sebuah perseroan.
Sementara itu yang mengelola dalam perseroan adalah direksi dan dewan komisaris, dimana mereka mewakili penanam saham, yang artinya mewakili pesero modal. Padahal menurut syara’, seorang pesero tidak boleh diwakilkan kepada seorang wakil pun untuk mengelola perseroannya, baik pesero modal maupun pesero badan. Sebab, transaksi perseroan tersebut telah mengikat dirinya, sehingga dia yang secara langsung mengelolanya.
Di samping itu pesero modal, menurut syara’, tidak memiliki hak untuk melakukan pengelolaan dan aktivitas dalam perseroan secara mutlak, sebab hal itu merupakan hak/milik pesero badan. Begitu pula perseroan saham telah menjadikan “orang abstrak” yang mempunyai kewenangan untuk mengelola. Padahal sebuah pengelolaan, menurut syar’I,  mestinya tidak sah kecuali dilakukan oleh manusia yang memiliki kemampuan mengelola, misalnya keharusan yang bersangkutan sudah akil baligh atau akil mumayy


1 Pemerintahan Islam terakhir, yakni Khilafah Utsmaniyyah yang berpusat di Turki, diruntuhkan oleh Mustafa Kemal Attaturk pada tanggal 24 Maret 1924.
2 Lihat Dawam Rahardjo, “Kapitalisme Dulu dan Sekarang”, LPES, Jakarta. 1987, hal. 319.
3 Lihat Abdul Aziz Al-Badri, “Hidup Sejahtera dalam Naungan Islam”, Gema Insani Press, Jakarta, 1995, hal. 7-8.
[iv] Lihat Dawam Rahardjo, opcit, hal. xx-xxii
[v] Lihat Abdul Aziz Al-Badri, opcit, hal. 8.
[vi] Lihat Taqiyuddin An-Nabhaniy, “Membangun Sistem Ekonomi Alternatif: Perspektif Islam”, Risalah Gusti, Surabaya, 1996, hal. 47.
[vii] Lihat Taqiyuddin An-Nabhaniy, ibidem.
[viii] Lihat Hafidz Abdurrahman, “Islam, Politik dan Spiritual”, Lisan Ul-Haq, Singapore, 1998, hal. 186-187.
[ix] Lihat Taqiyuddin An-Nabhaniy, opcit, hal. 48.
[x] Lihat  Abdul Qadim Zallum, “Ta’rif”, Beirut, 1985, hal. 85.
[xi] Lihat Taqiyuddin An-Nabhaniy, ibidem, hal. 52.
[xii] Lihat Hafidz Abdurrahman, “Islam, Politik dan Spiritual”, opcit, hal. 187.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar