Kamis, 17 Februari 2011

Menyoroti Kebijakan Ekonomi Kapitalistik


Apabila ummat Islam dipimpin dengan mempergunakan sistem Demokrasi secara de jure --dan ini merupakan usaha negara imperialis supaya penjajahan serta sistem mereka tetap bisa dipertahankan-- maka ummat Islam secara de facto dipimpin dengan mempergunakan sistem ekonomi Kapitalis pada semua sektor kehidupan perekonomiannya". (Taqiyyuddin An-Nabhani, 1953).

Periode Orde Lama dengan gaya Demokrasi Terpimpin yang dikomandoi Soekarno menuai banyak kritikan akibat ketidakmampuannya menciptakan pertumbuhan ekonomi. Kiblat kebijakan yang cenderung mengacu ke blok Timur waktu itu, lebih banyak berkutat pada proyek-proyek mercusuar. Tragedi komunisme dengan PKI-nya mengharuskan Soekarno meletakkan jabatan. Rezim Orba Baru --dipimpin Soeharto-- mencoba mengubah paradigma kebijakan politik-ekonomi. Stabilitas politik mendapat perhatian cukup besar, yang kemudian tidak jarang "memakan" banyak korban dari lawan-lawan politik Orba atau yang dianggap mengancam  Soeharto dan kroninya.

Orientasi kebijakan ekonomi Orde Baru diambil dari teori pertumbuhan model Rostow dan diimplementasikan dalam tahapan-tahapan repelita. Sayangnya, rezim Orba ini ternyata hanya berhasil membangun konglomerasi sebagai kamuflase pendongkrak GNP rakyat Indonesia. Praktek kolusi dan korupsi menjadi borok menggegerkan dalam semesta ekonomi-politik pada tingkat birokrat hingga masyarakat lapis bawah. Sementara kemakmuran dan pemerataan secara riil tidak tercipta di tengah rakyat. Berbagai bantuan (baca: hutang) yang diterima kerapkali mengalami kebocoran, sedangkan gurita kelompok industri konglomerat, yang diharapkan mampu mengimplementasikan teori trickle down effect, gagal menciptakan kesejahteraan masyarakat.

Fenomena hutang luar negeri sebagai komponen pelengkap APBN dari tahun ke tahun makin membengkak, yang pada akhirnya menjadi pemicu krisis ekonomi paling parah. Kondisi ini pun --ditambah berbagai faktor lain, termasuk sudah tidak sukanya pemerintahan Clinton kepada Soeharto-- mengharuskan Soeharto turun dari jabatan presiden. Pemerintahan transisi Habibie tidak diberi tempo waktu lama untuk membenahi situasi politik-ekonomi. Justru pada masa pemerintahannya Indonesia harus kehilangan salah satu wilayah strategisnya, yakni Timor Timur, yang memang tengah menjadi "proyek baru" Amerika melalui "tangan halus" PBB.

Orde Reformasi
Melalui proses pemilu yang diklaim paling "jurdil" semenjak orde baru, terbangun  pemerintahan baru yang dipimpin kuartet Amien-Akbar Tanjung-Gus Dur-Mega. Rezim ini kemudian dikenal sebagai Orde Reformasi. Pada saat yang sama di hadapan mereka menghadang setumpuk persoalan politik, sosial, ekonomi, hukum dan sebagainya yang tengah mengancam masyarakat. Tulisan berikut ingin difokuskan pada arah kebijakan politik ekonomi yang digulirkan rezim Orde Reformasi dengan “kabinet persatuan nasional”-nya.

Bila kita cermati, tidak ada perubahan mendasar yang ditempuh pemerintahan Gus Dur untuk keluar dari krisis ekonomi. Kebijakan-kebijakan seputar masalah ekonomi sepenuhnya masih bercorak gaya Orde Baru. Ketergantungan kepada investor asing, kebijakan masalah hutang luar negeri, privatisasi BUMN, krisis perbankan dan ekses kejahatannya, intervensi Amerika dan IMF atas beberapa kasus ekonomi penting, makin memperkuat keyakinan bahwa ekonomi sepenuhnya berjalan di atas rel kapitalistik. Berbagai kunjungan dilakukan ke luar negeri untuk mengundang investor asing, sambil meminta beberapa tokoh menjadi penasehat ekonominya. Jaminan stabilitas keamanan --termasuk janji langsung dari pimpinan TNI waku itu--, perlakuan khusus masalah pajak, dan tawaran-tawaran lain dijanjikan kepada calon-calon investor asing. Inilah yang membuat berbondong-bondong pemilik modal datang dan memborong perusahaan-perusahaan yang diobral murah.

Masalah hutang luar negeri, meski telah mendapat sorotan dan kritik tajam dari berbagai kalangan, tetap saja menjadi “agenda tetap” pemerintah. Semasa presiden Soeharto berkuasa, ditegaskan bahwa bantuan luar negeri yang diterima Indonesia hanya merupakan pelengkap, yang lebih untuk membantu proses transisi ke arah pembiayaan swasta (Kompas, 22/6/96). Bagi rakyat awam, mungkin cara berpikirnya sederhana, kalau memang hutang itu sebagai pelengkap, kok selama puluhan tahun ketergantungan kita terhadap hutang semakin menjadi-jadi. Bukannya semakin menyusut malah membengkak dan semakin sulit untuk diatasi?
           
Apabila kita amati APBN sejak tahun 1966, akan dijumpai bahwa anggaran rutin dengan anggaran pembangunan selalu defisit (kekurangan). Defisit inilah yang ditutup dengan pinjaman luar negeri, sehingga menjadi anggaran yang dinamis dan berimbang. Hal ini tercantum pula dalam GBHN. Wajar saja jika kemudian posisi pinjaman luar negeri bukan lagi sebagai pelengkap tetapi sebagai pilar yang amat dibutuhkan. Pemerintah dalam hal ini, terlihat sering puntang-panting berusaha mencari pinjaman ke luar negeri, mengetuk pintu lembaga-lembaga keuangan internasional dan negara-negara donor. Kalau tidak demikian, maka sudah tentu APBN akan mengalami defisit. Semakin besar kucuran pinjaman diperoleh, semakin baik. Seolah menjadi prestasi menggembirakan, bahkan ada yang mengklaimnya sebagai tanda kepercayaan luar negeri yang meningkat kepada Indonesia.
           
Pembayaran hutang ini harus dalam bentuk valuta asing (dolar), yang memang langka dimiliki negara-negara peminjam. Maka apabila nilai mata uang lokal (rupiah) jatuh terhadap Yen atau dolar, berarti hutang yang harus dibayar bisa lebih besar, padahal tidak ada penambahan pinjaman baru. Ini tentu saja akan menguras dan menghabiskan devisa negara. Yang lebih parah jika kita kaji secara seksama, pembayaran cicilan hutang Indonesia (angsuran pokok plus bunga pinjaman) sudah melebihi besarnya pinjaman baru yang diperoleh (net transfer negatif). Ini namanya “gali lubang tutup lubang” dan lubangnya bertambah semakin dalam. Lalu siapa sebenarnya yang menikmati utang luar negeri ini, negara peminjam atau negara-negara donor? Bukankah hakikatnya justru kita yang membantu pembangunan negara-negara maju?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar